Yang Boleh & Tidak Boleh dikerjakan Wanita Pada Masa Ⓗⓐⓛⓓ
✎Haid adalah darah yang dikenal para wanita. Tidak ada batasan tentang waktu maksimal dan minimalnya dalam syari’at. Itu semua berpulang pada kebiasaan masing-masing.
✎Sedangkan nifas adalah darah yang keluar karena melahirkan. Batasan maksimal adalah empat puluh hari.
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia berkata:
كَانَتِ النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا.
“Dulu para wanita yang nifas pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menahan diri selama empat puluh hari.” [Sunan Ibni Majah (I/213 no. 648)]
Bagi wanita yg sedang haid atau nifas ada beberapa hal yg terlarang dan ada pula perkara yg boleh dikerjakan.
A Hal-Hal Yang Dilarang Bagi Wanita Yang Sedang Haid Dan Nifas
1. Puasa
Dia harus mengqadha'nya jika telah selesai.
Dari Mu'adzah, dia berkata, “Aku bertanya kepada ‘Aisyah, 'Kenapa para wanita yang haidh (diwajibkan) mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?' Dia berkata, 'Ketika kami haid dalam masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kami disuruh mengqadha puasa dan tidak disuruh mengqadha shalat.'"[Muttafaq 'alaihi]
2. Bersetubuh pada kemaluan (penetrasi kemaluan/coitus).
Berdasarkan firman Allah Ta'ala:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, ‘Haidh itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” [Al-Baqarah: 222].
Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ.
"Berbuatlah sesuka hatimu, kecuali bersetubuh." [Sunan an-Nasa-i (I/152)]
B✔ Berikut ini adalah perkara yg boleh dilakukan oleh wanita yg sedang haid:
a. Berdzikir
Tidak ada perselisihan di antara ahli ilmu bahwasanya wanita haid boleh berdzikir kepada Allah, walaupun dzikir tersebut mengandung beberapa ayat al-Qur'an jika memang tidak bisa dibedakan antara al-Qur'an dan selainnya.
Seperti basmalah, hamdalah, dan dzikir lainnya jika maksudnya bukan al-Qur'an.
(Lihat Al-Mughni, 1/200 dan Al-Muhalla, 1/77)
b. Membaca al-Qur'an Dalam Hati.
Membaca al-Qur'an bagi wanita haid jika dengan mata atau membaca dalam hati tanpa diucapkan dengan lisan maka hal tersebut dibolehkan tanpa ada perselisihan di antara ulama.
(Lihat Al-Majmu, an-Nawawi, 2/163)
c. Membaca al-Qur'an Dengan Lisan.
Adapun bila wanita haid membaca al-Qur'an dengan lisan, maka para ulama berbeda pendapat menjadi 3 pendapat:
1. Haram secara mutlak.
Inilah pendapat Madzhab Hanafiyah, Malik, Syafi'iyah, Ahmad dan pendapat sebagian salaf seperti Hasan, Zuhri, Qotadah, Atho', Sa'id dan mayoritas ahli ilmu.
(Al-Majmu', 2/158 dan Al-Mughni, 1/199)
2. Boleh secara mutlak.
Inilah pendapat Malik dalam riwayat yg mashur, Syafi'i dalam satu riwayat, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnu Musayyib dan Ibnul Mundzir.
(Al-Mughni, 2/199)
3. Diperinci.
Inilah pendapat yg dipilih oleh Ibnu Utsaimin.
(Risalah Fi ad-Dima' ath-Thobiyyah, hlm. 27)
Pendapat yg kuat adalah yg ke-2 sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dalam
(Majmu' Fatawa, 26/191)
▶Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : .."Larangan bagi wanita haid untuk membaca Al-Qur'an bukan hadits-hadits shahih, jika hadits-hadits tersebut bukan hadits-hadits shahih, maka hadits-hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak boleh melarang wanita haid membaca Al-Qur'an hanya berdasarkan hadits-hadits yang tidak shahih ini, tapi adanya hadits-hadits seperti ini menjadikan adanya syubhat, maka berdasarkan inilah kami katakan bahwa yang lebih utama bagi seorang wanita haidh adalah tidak membaca Al-Qur'an kecuali jika hal itu dibutuhkan, seperti seorang guru wanita atau seorang pelajar putri atau situasi-situasi lain yang serupa dengan guru dan pelajar itu." [Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 2/278]
d. Suami Membaca al-Qur'an di Pangkuan Istrinya Yang Sedang Haid.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata:
''Dahulu Nabi pernah membaca al-Qur'an sedang kepala beliau ada di pangkuanku dan saat itu aku sedang haid.''
(Shahih Bukhari, 7110)
e. Makan dan Minum Bersama Istri Yang Sedang Haid.
Wanita yg haid boleh makan dan minum bersama suami dan anggota keluarga lainnya karena badan, keringat dan segala sesuatu yg bekas dipakainya adalah suci, tidak najis.
(Lihat al-Mughni, 1/69)
Aisyah Radhiyallahu anha berkata:
''Aku minum pada saat haid dari tempat minum, lalu Rasulullah mengambil tempat minum trsebut dan minum darinya dengan meletakkan mulutnya di bekas mulutku.''
(Shahih Muslim, 718)
f. Berkhidmat Melayani Suami.
Seperti mencuci rambutnya, menyisirkan, merapikannya dan lainnya.
Aisyah Radhiyallahu anha berkata:
''Aku pernah menyisir rambut Rasulullah, sedang aku dalam keadaan haid.''
(Shahih Muslim, 300)
g. Tidur Bersama Suami Dalam Satu Selimut.
Ummu Salamah berkata:
''Ketika aku berbaring bersama Rasulullah dalam satu selimut tiba-tiba aku mendapat haid.
Kemudian aku bangun dan mengambil pakaian haidku.
Rasulullah bertanya:
'Apakah kamu haid?'
Aku menjawab:
'Ya'.
Maka Rasulullah memanggilku dan akhirnya aku tidur bersama beliau dalam satu selimut.''
(Shahih Muslim,296)
Al-Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata:
''Di dalam hadits ini terdapat keterangan bolehnya tidur dan berbaring bersama wanita haid dalam satu selimut.''
(Syarah Shahih Muslim, 1/954)
h. Berhias dan Bersolek Untuk Suami.
Ada seorang wanita yg bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu anha:
''Bolehkah seorang wanita memakai inai ketika haid?''
Aisyah menjawab:
''Kami dahulu pada masa Nabi biasa memakai inai dan beliau tidak melarang hal itu.''
(HR. Ibnu Majah, 656)
i. Suami Bercumbu dan Bersenang-senang Dengan Istri Yang Sedang Haid Selain Kemaluan.
Al-Imam Ibnu Qatadah berkata:
''Kesimpulannya, bersenang-senang dengan wanita yg sedang haid pada bagian tubuh di atas pusar dan di bawah lutut adalah boleh berdasarkan nash dan Ijma'.''
(Lihat Al-Mughni, 1/414)
Aisyah Radhiyallahu anha berkata:
''Rasulullah menyuruhku memakai kain, lalu beliau mencumbuiku sedang aku dalam keadaan haid.''
(Shahih Bukhari, 295)
j. Wanita Haid Menghadiri Shalat Ied (Idul Fitri dan Idul Adha)
Wanita yg sedang haid hendaknya tetap keluar ke tanah lapang pada saat shalat Ied untuk meramaikan syi'ar Islam dan mendengar khutbah, (bukan untuk shalat).
Beliau bersabda:
''(Hendaklah) agar keluar para gadis pingitan, perawan yg menginjak dewasa, dan wanita haid. Agar menyaksikan kbaikan dan dakwah kaum muslimin.
Akan tetapi wanita haid menjauh dari tempat shalat.''
(Shahih Muslim, 890)
k. Wanita Haid Mengerjakan Sa'i.
Beliau bersabda:
''Kerjakanlah sebagaimana amalan orang yg haji, tetapi janganlah engkau thawaf di Ka'bah hingga engkau suci.''
(Shahih Bukhari, 1650)
l. Wanita Haid Melaksanakan Akad Nikah.
Ibnu Utsaimin berkata:
''Adapun akad nikah dengan wanita yg sedang haid maka dibolehkan karena pada asalnya adalah halal.
Dan tidak ada dalil yg melarang hal tersebut.''
(Risalah Fi ad-Dima' ath-Thobi'iyyah, hlm. 36)
Wallahu a'lam bish-shawab.
✎Haid adalah darah yang dikenal para wanita. Tidak ada batasan tentang waktu maksimal dan minimalnya dalam syari’at. Itu semua berpulang pada kebiasaan masing-masing.
✎Sedangkan nifas adalah darah yang keluar karena melahirkan. Batasan maksimal adalah empat puluh hari.
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia berkata:
كَانَتِ النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا.
“Dulu para wanita yang nifas pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menahan diri selama empat puluh hari.” [Sunan Ibni Majah (I/213 no. 648)]
Bagi wanita yg sedang haid atau nifas ada beberapa hal yg terlarang dan ada pula perkara yg boleh dikerjakan.
A Hal-Hal Yang Dilarang Bagi Wanita Yang Sedang Haid Dan Nifas
1. Puasa
Dia harus mengqadha'nya jika telah selesai.
Dari Mu'adzah, dia berkata, “Aku bertanya kepada ‘Aisyah, 'Kenapa para wanita yang haidh (diwajibkan) mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?' Dia berkata, 'Ketika kami haid dalam masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kami disuruh mengqadha puasa dan tidak disuruh mengqadha shalat.'"[Muttafaq 'alaihi]
2. Bersetubuh pada kemaluan (penetrasi kemaluan/coitus).
Berdasarkan firman Allah Ta'ala:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, ‘Haidh itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” [Al-Baqarah: 222].
Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ.
"Berbuatlah sesuka hatimu, kecuali bersetubuh." [Sunan an-Nasa-i (I/152)]
B✔ Berikut ini adalah perkara yg boleh dilakukan oleh wanita yg sedang haid:
a. Berdzikir
Tidak ada perselisihan di antara ahli ilmu bahwasanya wanita haid boleh berdzikir kepada Allah, walaupun dzikir tersebut mengandung beberapa ayat al-Qur'an jika memang tidak bisa dibedakan antara al-Qur'an dan selainnya.
Seperti basmalah, hamdalah, dan dzikir lainnya jika maksudnya bukan al-Qur'an.
(Lihat Al-Mughni, 1/200 dan Al-Muhalla, 1/77)
b. Membaca al-Qur'an Dalam Hati.
Membaca al-Qur'an bagi wanita haid jika dengan mata atau membaca dalam hati tanpa diucapkan dengan lisan maka hal tersebut dibolehkan tanpa ada perselisihan di antara ulama.
(Lihat Al-Majmu, an-Nawawi, 2/163)
c. Membaca al-Qur'an Dengan Lisan.
Adapun bila wanita haid membaca al-Qur'an dengan lisan, maka para ulama berbeda pendapat menjadi 3 pendapat:
1. Haram secara mutlak.
Inilah pendapat Madzhab Hanafiyah, Malik, Syafi'iyah, Ahmad dan pendapat sebagian salaf seperti Hasan, Zuhri, Qotadah, Atho', Sa'id dan mayoritas ahli ilmu.
(Al-Majmu', 2/158 dan Al-Mughni, 1/199)
2. Boleh secara mutlak.
Inilah pendapat Malik dalam riwayat yg mashur, Syafi'i dalam satu riwayat, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnu Musayyib dan Ibnul Mundzir.
(Al-Mughni, 2/199)
3. Diperinci.
Inilah pendapat yg dipilih oleh Ibnu Utsaimin.
(Risalah Fi ad-Dima' ath-Thobiyyah, hlm. 27)
Pendapat yg kuat adalah yg ke-2 sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dalam
(Majmu' Fatawa, 26/191)
▶Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : .."Larangan bagi wanita haid untuk membaca Al-Qur'an bukan hadits-hadits shahih, jika hadits-hadits tersebut bukan hadits-hadits shahih, maka hadits-hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak boleh melarang wanita haid membaca Al-Qur'an hanya berdasarkan hadits-hadits yang tidak shahih ini, tapi adanya hadits-hadits seperti ini menjadikan adanya syubhat, maka berdasarkan inilah kami katakan bahwa yang lebih utama bagi seorang wanita haidh adalah tidak membaca Al-Qur'an kecuali jika hal itu dibutuhkan, seperti seorang guru wanita atau seorang pelajar putri atau situasi-situasi lain yang serupa dengan guru dan pelajar itu." [Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 2/278]
d. Suami Membaca al-Qur'an di Pangkuan Istrinya Yang Sedang Haid.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata:
''Dahulu Nabi pernah membaca al-Qur'an sedang kepala beliau ada di pangkuanku dan saat itu aku sedang haid.''
(Shahih Bukhari, 7110)
e. Makan dan Minum Bersama Istri Yang Sedang Haid.
Wanita yg haid boleh makan dan minum bersama suami dan anggota keluarga lainnya karena badan, keringat dan segala sesuatu yg bekas dipakainya adalah suci, tidak najis.
(Lihat al-Mughni, 1/69)
Aisyah Radhiyallahu anha berkata:
''Aku minum pada saat haid dari tempat minum, lalu Rasulullah mengambil tempat minum trsebut dan minum darinya dengan meletakkan mulutnya di bekas mulutku.''
(Shahih Muslim, 718)
f. Berkhidmat Melayani Suami.
Seperti mencuci rambutnya, menyisirkan, merapikannya dan lainnya.
Aisyah Radhiyallahu anha berkata:
''Aku pernah menyisir rambut Rasulullah, sedang aku dalam keadaan haid.''
(Shahih Muslim, 300)
g. Tidur Bersama Suami Dalam Satu Selimut.
Ummu Salamah berkata:
''Ketika aku berbaring bersama Rasulullah dalam satu selimut tiba-tiba aku mendapat haid.
Kemudian aku bangun dan mengambil pakaian haidku.
Rasulullah bertanya:
'Apakah kamu haid?'
Aku menjawab:
'Ya'.
Maka Rasulullah memanggilku dan akhirnya aku tidur bersama beliau dalam satu selimut.''
(Shahih Muslim,296)
Al-Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata:
''Di dalam hadits ini terdapat keterangan bolehnya tidur dan berbaring bersama wanita haid dalam satu selimut.''
(Syarah Shahih Muslim, 1/954)
h. Berhias dan Bersolek Untuk Suami.
Ada seorang wanita yg bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu anha:
''Bolehkah seorang wanita memakai inai ketika haid?''
Aisyah menjawab:
''Kami dahulu pada masa Nabi biasa memakai inai dan beliau tidak melarang hal itu.''
(HR. Ibnu Majah, 656)
i. Suami Bercumbu dan Bersenang-senang Dengan Istri Yang Sedang Haid Selain Kemaluan.
Al-Imam Ibnu Qatadah berkata:
''Kesimpulannya, bersenang-senang dengan wanita yg sedang haid pada bagian tubuh di atas pusar dan di bawah lutut adalah boleh berdasarkan nash dan Ijma'.''
(Lihat Al-Mughni, 1/414)
Aisyah Radhiyallahu anha berkata:
''Rasulullah menyuruhku memakai kain, lalu beliau mencumbuiku sedang aku dalam keadaan haid.''
(Shahih Bukhari, 295)
j. Wanita Haid Menghadiri Shalat Ied (Idul Fitri dan Idul Adha)
Wanita yg sedang haid hendaknya tetap keluar ke tanah lapang pada saat shalat Ied untuk meramaikan syi'ar Islam dan mendengar khutbah, (bukan untuk shalat).
Beliau bersabda:
''(Hendaklah) agar keluar para gadis pingitan, perawan yg menginjak dewasa, dan wanita haid. Agar menyaksikan kbaikan dan dakwah kaum muslimin.
Akan tetapi wanita haid menjauh dari tempat shalat.''
(Shahih Muslim, 890)
k. Wanita Haid Mengerjakan Sa'i.
Beliau bersabda:
''Kerjakanlah sebagaimana amalan orang yg haji, tetapi janganlah engkau thawaf di Ka'bah hingga engkau suci.''
(Shahih Bukhari, 1650)
l. Wanita Haid Melaksanakan Akad Nikah.
Ibnu Utsaimin berkata:
''Adapun akad nikah dengan wanita yg sedang haid maka dibolehkan karena pada asalnya adalah halal.
Dan tidak ada dalil yg melarang hal tersebut.''
(Risalah Fi ad-Dima' ath-Thobi'iyyah, hlm. 36)
Wallahu a'lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar