Senin, 29 Desember 2014

Biografi singkat Muhammad bin Abdul Wahab

Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin Barid bin Musyarraf at Tamimi lahir pada tahun 1115 H/ 1703 M di daerah Uyainah yang merupakan bagian dari Najd, terletak 70 km di utara Riyadl. Semenjak kecil ia belajar agama kepada para ulama yang berada di Makkah dan Madinah serta ke beberapa daerah seperti Ihsa` dan Basrah.

Menurut sejarawan wahabi Ibnu Ghannam, kondisi mayoritas kaum muslimin di awal abad ke-12, sebelum dakwah IAW telah bergelimang dengan kesyirikan dan kembali ke era jahiliyah. Hal itu disebabkan karena kebodohan mereka dan semaraknya para juru dakwah yang mengajak kepada kesesatan dan kesyirikan. Demikian juga –dalam pandangan Ibnu Ghannam- mereka berpaling dari tauhid dan menyembah kaum shalihin, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia, serta menyembah kuburan-kuburan mereka. Bahkan kesesatan kaum muslimin tersebut sebenarnya telah terjadi berabad-abad yang silam.

Pandangan Ibnu Ghannam di atas tentunya sangat berlebihan. Karena pernyataan tersebut bertentangan dengan fakta yang ada. Kondisi kaum muslimin saat itu tidak berbeda dengan kondisi kaum muslimin di zaman kita sekarang ini. Ziarah kuburan kaum shalihin dan bertabarruk dengan mereka adalah aktivitas ritual kaum muslimin semenjak zaman Nabi hingga saat ini. Hanya saja, ritual semacam ini tidak cocok dengan ide dasar ideologi wahabi sehingga harus dikatakan sebagai penyembahan terhadap kuburan. Tentunya saja, bagi orang yang paham agama, ziarah dan bertabarruk dengan kuburan maknanya sangat jauh sekali dengan penyembahan terhadap kuburan. Berangkat dari pemahaman yang salah inilah IAW dan para pengikutnya sampai sekarang memvonis aktivitas tersebut sebagai bentuk kesyirikan.

Menurut cacatan Ibnu Ghannam, Ibnu Abdil Wahab adalah sosok yang sangat luar biasa. Ia telah hafal Al Quran sebelum berumur sepuluh tahun. Orang tuanya pun sangat kagum dengan putranya tersebut lantaran kecerdasan dan pemahamannya meskipun ia masih kecil. Bahkan orang tuanya banyak belajar hukum islam kepada anaknya tersebut. Namun hal ini bertentangan dengan penuturan Syekh Muhammad bin Abdullah an-Najdi al-Hambali, seorang mufti madzhab hambali di Mekkah (W 1295 H), beliau menuturkan dalam kitabnya yang berjudul “As Suhub Al Waabilah ‘Ala Dlaraaihil Hanaabilah” bahwa Ibnu Abdil Wahab baru berani memulai dakwahnya secara terang-terangan pasca orang tuanya wafat. Bahkan orang tuanya sangat marah kepadanya karena ia tidak mau belajar ilmu fikih sebagaimana para pendahulunya. Lebih jauh lagi, Syekh Ahmad Zaini Dahlan, mufti madzhab Syafi’I di Mekkah di era akhir kekhilafahan ustmaniyyah mendedahkan dalam tarikhnya, beliau berkata “Awalnya Ibnu Abdil Wahab adalah seorang penuntut ilmu di Madinah Munawwarah. Ayah dan saudaranya Sulaiman bin Abdul Wahab adalah orang shaleh dan termasuk ulama. Ayah, saudara dan guru-gurunya mempunyai firasat buruk bahwa ia (IAW) akan tersesat. Hal itu setelah mereka melihat perkataan, perbuatan dan kecenderungannya di berbagai permasalahan agama” (al Futuhaat al Islamiyyah: 2/66).

Ibnu Abdil Wahab adalah sosok yang independen dan tidak mau berkiblat pemahaman kepada siapa pun, bahkan kepada gurunya. Kalau pun ada yang mempengaruhi gaya berpikirannya bisa jadi itu adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Karena pandangan IAW dalam masalah tauhid dekat dengan kedua tokoh abad ke-7 tersebut. Akan tetapi saudaranya yang bernama Sulaiman bin Abdil Wahab nampaknya tidak setuju dengan hal ini. Oleh karenanya dalam menulis bantahan terhadap saudara kandungnya tersebut dalam kitab yang berjudul “Ash Shawaiq Al Ilahiyyah Fi Roddi ‘Ala Wahabiyyah” Syekh Sulaiman memakai argumentasi-argumentasi Ibnu Taimiyah untuk mematahkan argumentasi saudaranya tersebut, khususnya dalam masalah takfir.

Independensi berpikir ini bisa kita pahami dari beberapa statemen Ibnu Abdil Wahab itu sendiri. Diantaranya ia berkata:

“Alhamdulillah aku tidak mengajak kepada madzhab sufi, ahli fikih, ahli kalam atau seorang imam dari imam-imam yang aku agungkan seperti Ibnu Qayyim, Dzhabi, Ibnu Katsir dan lainnya. Akan tetapi aku mengajak kepada Allah yang tiada sekutu bagi-Nya dan kepada sunnah Rasulullah saw.”.

Demikian juga, ia pernah berkata:

“Aku telah mencari ilmu dan orang-orang yang mengenalku menyangka bahwa aku telah memiliki ilmu. Padahal saat itu aku tidak mengetahui makna “Laa Ilaaha Illallah” dan tidak mengetahui agama Islam, sebelum anugerah (pemahaman) yang telah dikaruniakan Allah kepadaku ini. Demikian juga guru-guruku, tidak ada seorang pun dari mereka mengetahui hal itu (makna laa ilaaha illallah dan Islam). Barang siapa dari kalangan ulama sekarang mengira bahwa ia telah mengetahui makna laa ilaaha illallah, atau mengetahui makna Islam sebelum saat ini, atau mengira guru-gurunya atau seseorang mengetahui hal itu maka sungguh ia telah berdusta dan mengaku-ngaku, serta mengelabuhi manusia dan memuji dirinya dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya”. (ad Durar as Saniyyah: 10/51).

Konon menurut sebagian para ulama, Ibnu Abdil Wahab ini begitu gemar membaca sejarah orang-orang yang pernah mengaku nabi, seperti Musailamah Al Kaddzab, Al Aswad Al Unsi, dan Tulaihah Al Asdi. Oleh sebab itu, sebagian orang mengatakan bahwa sebenarnya ia mempunyai maksud untuk mengikuti jejak orang-orang yang pernah mengaku menjadi nabi tersebut. Dari spirit inilah, maka tidak heran jika statemen-statemen agama yang ia lontarkan dianggap keluar dari konsensus ulama saat itu. Tidak pelak, bantahan dan sikap penolakan atas ajaran yang ditawarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab inipun mengalir deras dari para ulama Makkah dan Madinah, sampai akhirnya dia terusir ke daerah Najd pada tahun 1142 H,dan di daerah inilah dia berusaha mengatur siasat dakwah yang dia yakini.

Dalam literatur-literatur islam klasik, bantahan yang paling terkenal justru datang dari saudara kandungnya sendiri yang bernama Syekh Sulaiman bin Abdul Wahab. Dalam rangka menasehati saudaranya itu, Syekh Sulaiman menulis sebuah risalah yang sangat kesohor yang bertajuk “As Shawâiq Al Ilâhiyah Fi Raddi ‘Ala Wahâbiyah”. Tidak hanya saudaranya yang mempunyai kekhawatiran akan pemahaman ekstrimnya. Akan tetapi Syekh Muhammad Sulaiman Al Kurdi, salah satu gurunya juga ikut menasehatinya. Dalam sebuah sumber, Syekh Sulaiman Al Kurdi pernah berpesan kepada muridnya itu:

“Wahai Ibn Abdil Wahab, keselamatan adalah teruntuk orang yang mengikuti jalan yang benar. Sungguh aku ingin menasehatimu agar segera menghentikan lisanmu dari mencela kaum muslimin. Jika kamu mendengar ada orang yang berkeyakinan bahwa ada kekuatan selain kekuatan Allah, maka kafirkanlah dia saja, dan jangan kafirkan sawadul a’dzam (mayoritas) kaum muslimin. Kamu adalah orang yang menyimpang dari golongan mayoritas kaum muslimin. Maka sesungguhnya memvonis kafir orang yang menyimpang dari golongan mayoritas itu lebih pantas, karena dia telah keluar dari jalan kaum muslimin”.

Karena cara berpikirnya yang dipandang ekstrim tersebut, IAW mengalami kesulitan untuk menyebarkan dakwahnya. Setelah terusir dari Najd, ia pergi menuju Irak. Di Irak pun ia tidak diterima hingga harus mengungsi ke Mesir. Namun keadaannya di Mesir tidak berbeda dengan di dua tempat sebelumnya. Akhirnya ia pun diusir dan memutuskan pergi ke Syam. Setelah di Syam mengalami pengusiran serupa maka ia kembali lagi ke Uyainah tempat kelahirannya. Akan tetapi pimpinan Uyainah saat itu Ustman bin Mu’ammar senantiasa mengawasi segala gerak-geriknya dengan sangat ketat sehingga terpaksa ia harus meninggalkan Uyainah menuju Dar’iyyah. Di Dar’iyyah inilah ia bak menemukan telaga di padang pasir. Di sini ia bertemu dengan Muhammad bin Sa’ud yang saat itu menjadi pemimpin di daerah tersebut. Pertemuan tersebut dirasa sangat tepat, karena keduanya saling membutuhkan; Ibnu Sa’ud membutuhkan agamawan untuk menguatkan basis dukungan politiknya, sementara Ibnu Abdil Wahab membutuhkan penguasa untuk menjamin proses penyebaran ideologinya.

Abdul Aziz Ibnu Saud & Saudara2nya
Dakwah aliran Wahabi mulai mengalami perubahan yang lumayan signifikan ketika memanfaatkan kekuatan politik tersebut. Dengan adanya kesepakatan saling menguntungkan, maka sang pimpinan Dar’iyyah, Ibnu Sa’ud memerintahkan seluruh penduduk Dar’iyyah untuk mendukung dakwah yang disebarkan oleh Ibnu Abdil Wahab tersebut. Oleh sebab itu kesepakatan bahwa pemegang kekuasaan politik harus dari keturunan Ibnu Su’ud dan kekuasaan paham agama harus dari keturunan Ibnu Abdil Wahab masih sangat kentara dan terlestarikan sampai di zaman kita sekarang ini.

Menurut sebagian ulama, peperangan yang terjadi antara aliran wahabi dengan pemimpin daerah Makkah Syarif Mas’ud serta pemimpin Mesir Muhammad Ali Basya dan anaknya Ibrahim Basya tidak murni perang akibat perebutan wilayah. Akan tetapi hal itu lebih kepada sebuah peperangan ideologi agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar