Muhammad
bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid
bin Barid bin Muhammad bin Barid bin Musyarraf at Tamimi lahir pada
tahun 1115 H/ 1703 M di daerah Uyainah yang merupakan bagian dari Najd,
terletak 70 km di utara Riyadl. Semenjak kecil ia belajar agama kepada
para ulama yang berada di Makkah dan Madinah serta ke beberapa daerah
seperti Ihsa` dan Basrah.
Menurut
sejarawan wahabi Ibnu Ghannam, kondisi mayoritas kaum muslimin di awal
abad ke-12, sebelum dakwah IAW telah bergelimang dengan kesyirikan dan
kembali ke era jahiliyah. Hal itu disebabkan karena kebodohan mereka dan
semaraknya para juru dakwah yang mengajak kepada kesesatan dan
kesyirikan. Demikian juga –dalam pandangan Ibnu Ghannam- mereka
berpaling dari tauhid dan menyembah kaum shalihin, baik yang masih hidup
maupun yang telah meninggal dunia, serta menyembah kuburan-kuburan
mereka. Bahkan kesesatan kaum muslimin tersebut sebenarnya telah terjadi
berabad-abad yang silam.
Pandangan
Ibnu Ghannam di atas tentunya sangat berlebihan. Karena pernyataan
tersebut bertentangan dengan fakta yang ada. Kondisi kaum muslimin saat
itu tidak berbeda dengan kondisi kaum muslimin di zaman kita sekarang
ini. Ziarah kuburan kaum shalihin dan bertabarruk dengan mereka adalah
aktivitas ritual kaum muslimin semenjak zaman Nabi hingga saat ini.
Hanya saja, ritual semacam ini tidak cocok dengan ide dasar ideologi
wahabi sehingga harus dikatakan sebagai penyembahan terhadap kuburan.
Tentunya saja, bagi orang yang paham agama, ziarah dan bertabarruk
dengan kuburan maknanya sangat jauh sekali dengan penyembahan terhadap
kuburan. Berangkat dari pemahaman yang salah inilah IAW dan para
pengikutnya sampai sekarang memvonis aktivitas tersebut sebagai bentuk
kesyirikan.
Menurut
cacatan Ibnu Ghannam, Ibnu Abdil Wahab adalah sosok yang sangat luar
biasa. Ia telah hafal Al Quran sebelum berumur sepuluh tahun. Orang
tuanya pun sangat kagum dengan putranya tersebut lantaran kecerdasan dan
pemahamannya meskipun ia masih kecil. Bahkan orang tuanya banyak
belajar hukum islam kepada anaknya tersebut.
Namun hal ini bertentangan dengan penuturan Syekh Muhammad bin Abdullah
an-Najdi al-Hambali, seorang mufti madzhab hambali di Mekkah (W 1295
H), beliau menuturkan dalam kitabnya yang berjudul “As Suhub Al Waabilah ‘Ala Dlaraaihil Hanaabilah” bahwa
Ibnu Abdil Wahab baru berani memulai dakwahnya secara terang-terangan
pasca orang tuanya wafat. Bahkan orang tuanya sangat marah kepadanya
karena ia tidak mau belajar ilmu fikih sebagaimana para pendahulunya.
Lebih jauh lagi, Syekh Ahmad Zaini Dahlan, mufti madzhab Syafi’I di
Mekkah di era akhir kekhilafahan ustmaniyyah mendedahkan dalam
tarikhnya, beliau berkata “Awalnya Ibnu Abdil Wahab adalah seorang
penuntut ilmu di Madinah Munawwarah. Ayah dan saudaranya Sulaiman bin
Abdul Wahab adalah orang shaleh dan termasuk ulama. Ayah, saudara dan
guru-gurunya mempunyai firasat buruk bahwa ia (IAW) akan tersesat. Hal
itu setelah mereka melihat perkataan, perbuatan dan kecenderungannya di
berbagai permasalahan agama” (al Futuhaat al Islamiyyah: 2/66).
Ibnu
Abdil Wahab adalah sosok yang independen dan tidak mau berkiblat
pemahaman kepada siapa pun, bahkan kepada gurunya. Kalau pun ada yang
mempengaruhi gaya berpikirannya bisa jadi itu adalah Ibnu Taimiyah dan
Ibnu Qayyim. Karena pandangan IAW dalam masalah tauhid dekat dengan
kedua tokoh abad ke-7 tersebut. Akan tetapi saudaranya yang bernama
Sulaiman bin Abdil Wahab nampaknya tidak setuju dengan hal ini. Oleh
karenanya dalam menulis bantahan terhadap saudara kandungnya tersebut
dalam kitab yang berjudul “Ash Shawaiq Al Ilahiyyah Fi Roddi ‘Ala Wahabiyyah” Syekh
Sulaiman memakai argumentasi-argumentasi Ibnu Taimiyah untuk mematahkan
argumentasi saudaranya tersebut, khususnya dalam masalah takfir.
Independensi berpikir ini bisa kita pahami dari beberapa statemen Ibnu Abdil Wahab itu sendiri. Diantaranya ia berkata:
“Alhamdulillah
aku tidak mengajak kepada madzhab sufi, ahli fikih, ahli kalam atau
seorang imam dari imam-imam yang aku agungkan seperti Ibnu Qayyim,
Dzhabi, Ibnu Katsir dan lainnya. Akan tetapi aku mengajak kepada Allah
yang tiada sekutu bagi-Nya dan kepada sunnah Rasulullah saw.”.
Demikian juga, ia pernah berkata:
“Aku
telah mencari ilmu dan orang-orang yang mengenalku menyangka bahwa aku
telah memiliki ilmu. Padahal saat itu aku tidak mengetahui makna “Laa
Ilaaha Illallah” dan tidak mengetahui agama Islam, sebelum anugerah
(pemahaman) yang telah dikaruniakan Allah kepadaku ini. Demikian juga
guru-guruku, tidak ada seorang pun dari mereka mengetahui hal itu (makna
laa ilaaha illallah dan Islam). Barang siapa dari kalangan ulama
sekarang mengira bahwa ia telah mengetahui makna laa ilaaha illallah,
atau mengetahui makna Islam sebelum saat ini, atau mengira guru-gurunya
atau seseorang mengetahui hal itu maka sungguh ia telah berdusta dan
mengaku-ngaku, serta mengelabuhi manusia dan memuji dirinya dengan
sesuatu yang tidak ada pada dirinya”. (ad Durar as Saniyyah: 10/51).
Konon
menurut sebagian para ulama, Ibnu Abdil Wahab ini begitu gemar membaca
sejarah orang-orang yang pernah mengaku nabi, seperti Musailamah Al
Kaddzab, Al Aswad Al Unsi, dan Tulaihah Al Asdi. Oleh sebab itu,
sebagian orang mengatakan bahwa sebenarnya ia mempunyai maksud untuk
mengikuti jejak orang-orang yang pernah mengaku menjadi nabi tersebut.
Dari spirit inilah, maka tidak heran jika statemen-statemen agama yang
ia lontarkan dianggap keluar dari konsensus ulama saat itu. Tidak pelak,
bantahan dan sikap penolakan atas ajaran yang ditawarkan oleh Muhammad
bin Abdul Wahab inipun mengalir deras dari para ulama Makkah dan
Madinah, sampai akhirnya dia terusir ke daerah Najd pada tahun 1142
H,dan di daerah inilah dia berusaha mengatur siasat dakwah yang dia
yakini.
Dalam
literatur-literatur islam klasik, bantahan yang paling terkenal justru
datang dari saudara kandungnya sendiri yang bernama Syekh Sulaiman bin
Abdul Wahab. Dalam rangka menasehati saudaranya itu, Syekh Sulaiman
menulis sebuah risalah yang sangat kesohor yang bertajuk “As Shawâiq Al Ilâhiyah Fi Raddi ‘Ala Wahâbiyah”.
Tidak hanya saudaranya yang mempunyai kekhawatiran akan pemahaman
ekstrimnya. Akan tetapi Syekh Muhammad Sulaiman Al Kurdi, salah satu
gurunya juga ikut menasehatinya. Dalam sebuah sumber, Syekh Sulaiman Al
Kurdi pernah berpesan kepada muridnya itu:
“Wahai
Ibn Abdil Wahab, keselamatan adalah teruntuk orang yang mengikuti jalan
yang benar. Sungguh aku ingin menasehatimu agar segera menghentikan
lisanmu dari mencela kaum muslimin. Jika kamu mendengar ada orang yang
berkeyakinan bahwa ada kekuatan selain kekuatan Allah, maka kafirkanlah
dia saja, dan jangan kafirkan sawadul a’dzam (mayoritas) kaum muslimin.
Kamu adalah orang yang menyimpang dari golongan mayoritas kaum muslimin.
Maka sesungguhnya memvonis kafir orang yang menyimpang dari golongan
mayoritas itu lebih pantas, karena dia telah keluar dari jalan kaum
muslimin”.
Karena
cara berpikirnya yang dipandang ekstrim tersebut, IAW mengalami
kesulitan untuk menyebarkan dakwahnya. Setelah terusir dari Najd, ia
pergi menuju Irak. Di Irak pun ia tidak diterima hingga harus mengungsi
ke Mesir. Namun keadaannya di Mesir tidak berbeda dengan di dua tempat
sebelumnya. Akhirnya ia pun diusir dan memutuskan pergi ke Syam. Setelah
di Syam mengalami pengusiran serupa maka ia kembali lagi ke Uyainah
tempat kelahirannya. Akan tetapi pimpinan Uyainah saat itu Ustman bin
Mu’ammar senantiasa mengawasi segala gerak-geriknya dengan sangat ketat
sehingga terpaksa ia harus meninggalkan Uyainah menuju Dar’iyyah. Di
Dar’iyyah inilah ia bak menemukan telaga di padang pasir. Di sini ia
bertemu dengan Muhammad bin Sa’ud yang saat itu menjadi pemimpin di
daerah tersebut. Pertemuan tersebut dirasa sangat tepat, karena keduanya
saling membutuhkan; Ibnu Sa’ud membutuhkan agamawan untuk menguatkan
basis dukungan politiknya, sementara Ibnu Abdil Wahab membutuhkan
penguasa untuk menjamin proses penyebaran ideologinya.
Abdul Aziz Ibnu Saud & Saudara2nya |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar