KH. Abdul Adzim Oerip (+1879-1959): Ulama-waliyullah Sidogiri yang takut Mengkhianati Mazhab Syafi'i, mazhab-nya Islam Nusantara
Kiai Haji Abdul Adzim Oerip adalah salah seorang pengasuh Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.Ulama waliyullah ini adalah pemimpin dan pengayom yang siap berkorban untuk pesantren dan masyarakatnya, terutama di masa-masa sulit penjajahan Belanda hingga masa revolusi kemerdekaan.
Selama mengasuh pesantren, Kiai Abdul Adzim mengajar kitab-kitab kecil, seperti kitab nahwu Mukhtashar Jiddan, kitab Sullam, al-Hikam dan Safinatu-n-Najah. Beliau lebih suka mengajar kitab-kitab kecil tapi bisa diamalkan, daripada kitab-kitab besar tapi tidak diamalkan kaum santri. Selain itu, beliau juga membebaskan para santri untuk memilih kitab-kitab yang diajarkan.
Ulama sederhana dan wara ini pernah dipercaya menentukan arah kiblat Mesjid Jami’ Pasuruangara-gara ada seorang ahli falak dari Bangil yang menyebut arah kiblat mesjid keliru. Masyarakat sekitar Pasuruan sering mendatangi beliau meminta wirid-wirid, amalan-amalan atau bacaan-bacaan untuk kepentingan latihan spiritual atau riyadhah bathiniyah. Di masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, masyarakat juga kerap meminta barakah dari beliau untuk melindungi diri dari berbagai bahaya dan ancaman.
Selain menjalankan usaha jual-beli kuda, Kiai Abdul Adzim juga dikenal sebagai petani dan memiliki sejumlah tanah sawah dan tegalan. Ini untuk memenuhi kebutuhan hidup beliau, keluarga dan pesantren. Dalam bercocok-tanam atau berkebun sang kiai menghindari penggunaan pupuk kimiawi. Sebagai pengantinya beliau menebar gula disekitar tanaman. Hama akan memakan gula itu, dan tidak akan mengganggu tanaman. Dengan cara seperti ini beliau bisa menanam tanaman hingga berbuah dua kali dalam setahun. Beliau juga suka menyayangi binatang.
Selama memimpin pesantren dan melayani masyarakat, Kiai Abdul Adzim lebih mementingkan orang lain dari pada dirinya. Karakter kepemimpinan beliau adalah mengayomi. Beliau tidak segan untuk memukul sendiri bel sekolah atau bedug mesjid. Sikap beliau ini juga terpantul dalam menyikapi penjajahan Belanda.
Berbeda dengan kiai-kiai Sidogiri lainnya yang dikenal keras, bahkan ada yang memimpin pasukan dalam perjuangan revolusi kemerdekaan, Kiai Abdul Adzim lebih bersikap lunak. Meski pesantren menjadi basis para pejuang dan anggota laskar rakyat dan banyak kiai sibuk berjuang untuk Republik, beliau tetap aktif membawakan pengajian kitab. Ini berbeda dengan sikap Kiai Abdul Djalil yang bergabung ke LaskarHizbullah dan menjadi komandan pasukan rakyat itu.
Setelah Kiai Abdul Djalilgugur sebagai pahlawan pada tahun 1947 membela kemerdekaan Republik Indonesia,markas perjuangan Hizbullah pun berpindah dari pesantren ke Desa Merati, Wonorejo, Pasuruan. Pertimbangannya, para pejuang waktu itu mengkhawatirkan nasib Kiai Abdul Adzim kalau basis laskar rakyat masih berada di Pesantren Sidogiri. Kekhawatiran itu punya alasan. Di Merati, tentara Belanda menyerbu markas para pejuang Republik Indonesia dengan kekuatan penuh dan desa itu kemudian rata dengan tanah. Menurut penuturan salah seorang komandan tentara, seandainya markas tentara kita masih berada di Pesantren Sidogiri, niscaya akan diratakan pula dengan tanah.
Walau tidak ikut memimpin laskar rakyat, Kiai Abdul Adzim tetap dicurigai sebagai pemimpin perjuangan rakyat melawan Belanda.
Suatu hari Belanda mengundang para kiai sekitar Pasuruan dalam satu pertemuan – dengan maksud memancing beliau keluar dari pondok. Dalam pertemuan itu, yang datang hanyalah beliau sendiri – demi menjaga para kiai yang tidak datang itu agar tidak menjadi korban kelicikan dan permusuhan tentara Belanda. Kiai waliyullah Sidogiri ini kemudian dipenjara selama beberapa bulan tapi kemudian dilepas. Selama dalam tahanan di Gading Kraton kota Pasuruan, Kiai Abdul Adzim menggelar pengajian seakan para tahanan itu adalah santri beliau.
Kiai Abdul Adzim tetap konsisten shalat berjamaah hingga akhir hayatnya – meski sedang sakit keras jelang ajal. Beliau pernah diingatkan untuk tidak usah berwudhu dengan mengikuti Mazhab Maliki. Namun beliau tetap bertahan: “Ojo! Tetep ae aku melo’ Imam Syafi’i. Mbesu’ hisabane ce’ gellis. Le’ melo’ imam macem-macem, hisab melo’ imam iki, imam iko, suwe. Le’ melo’ imam siji enak, gellis hisabane(Tidak! Saya tetap ikut Imam asy-Syafi’i. Agar di Hari Kiamat nanti hisabnya bisa berlangsung cepat. Kalau ikut imam yang macam-macam, hisabnya nanti harus ikut imam ini, lalu ikut imam itu, sehingga hisabnya lama. Tapi kalau hanya ikut satu imam, hisabnya lebih cepat)
Kiai Haji Abdul Adzim Oerip adalah salah seorang pengasuh Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.Ulama waliyullah ini adalah pemimpin dan pengayom yang siap berkorban untuk pesantren dan masyarakatnya, terutama di masa-masa sulit penjajahan Belanda hingga masa revolusi kemerdekaan.
Selama mengasuh pesantren, Kiai Abdul Adzim mengajar kitab-kitab kecil, seperti kitab nahwu Mukhtashar Jiddan, kitab Sullam, al-Hikam dan Safinatu-n-Najah. Beliau lebih suka mengajar kitab-kitab kecil tapi bisa diamalkan, daripada kitab-kitab besar tapi tidak diamalkan kaum santri. Selain itu, beliau juga membebaskan para santri untuk memilih kitab-kitab yang diajarkan.
Ulama sederhana dan wara ini pernah dipercaya menentukan arah kiblat Mesjid Jami’ Pasuruangara-gara ada seorang ahli falak dari Bangil yang menyebut arah kiblat mesjid keliru. Masyarakat sekitar Pasuruan sering mendatangi beliau meminta wirid-wirid, amalan-amalan atau bacaan-bacaan untuk kepentingan latihan spiritual atau riyadhah bathiniyah. Di masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, masyarakat juga kerap meminta barakah dari beliau untuk melindungi diri dari berbagai bahaya dan ancaman.
Selain menjalankan usaha jual-beli kuda, Kiai Abdul Adzim juga dikenal sebagai petani dan memiliki sejumlah tanah sawah dan tegalan. Ini untuk memenuhi kebutuhan hidup beliau, keluarga dan pesantren. Dalam bercocok-tanam atau berkebun sang kiai menghindari penggunaan pupuk kimiawi. Sebagai pengantinya beliau menebar gula disekitar tanaman. Hama akan memakan gula itu, dan tidak akan mengganggu tanaman. Dengan cara seperti ini beliau bisa menanam tanaman hingga berbuah dua kali dalam setahun. Beliau juga suka menyayangi binatang.
Selama memimpin pesantren dan melayani masyarakat, Kiai Abdul Adzim lebih mementingkan orang lain dari pada dirinya. Karakter kepemimpinan beliau adalah mengayomi. Beliau tidak segan untuk memukul sendiri bel sekolah atau bedug mesjid. Sikap beliau ini juga terpantul dalam menyikapi penjajahan Belanda.
Berbeda dengan kiai-kiai Sidogiri lainnya yang dikenal keras, bahkan ada yang memimpin pasukan dalam perjuangan revolusi kemerdekaan, Kiai Abdul Adzim lebih bersikap lunak. Meski pesantren menjadi basis para pejuang dan anggota laskar rakyat dan banyak kiai sibuk berjuang untuk Republik, beliau tetap aktif membawakan pengajian kitab. Ini berbeda dengan sikap Kiai Abdul Djalil yang bergabung ke LaskarHizbullah dan menjadi komandan pasukan rakyat itu.
Setelah Kiai Abdul Djalilgugur sebagai pahlawan pada tahun 1947 membela kemerdekaan Republik Indonesia,markas perjuangan Hizbullah pun berpindah dari pesantren ke Desa Merati, Wonorejo, Pasuruan. Pertimbangannya, para pejuang waktu itu mengkhawatirkan nasib Kiai Abdul Adzim kalau basis laskar rakyat masih berada di Pesantren Sidogiri. Kekhawatiran itu punya alasan. Di Merati, tentara Belanda menyerbu markas para pejuang Republik Indonesia dengan kekuatan penuh dan desa itu kemudian rata dengan tanah. Menurut penuturan salah seorang komandan tentara, seandainya markas tentara kita masih berada di Pesantren Sidogiri, niscaya akan diratakan pula dengan tanah.
Walau tidak ikut memimpin laskar rakyat, Kiai Abdul Adzim tetap dicurigai sebagai pemimpin perjuangan rakyat melawan Belanda.
Suatu hari Belanda mengundang para kiai sekitar Pasuruan dalam satu pertemuan – dengan maksud memancing beliau keluar dari pondok. Dalam pertemuan itu, yang datang hanyalah beliau sendiri – demi menjaga para kiai yang tidak datang itu agar tidak menjadi korban kelicikan dan permusuhan tentara Belanda. Kiai waliyullah Sidogiri ini kemudian dipenjara selama beberapa bulan tapi kemudian dilepas. Selama dalam tahanan di Gading Kraton kota Pasuruan, Kiai Abdul Adzim menggelar pengajian seakan para tahanan itu adalah santri beliau.
Kiai Abdul Adzim tetap konsisten shalat berjamaah hingga akhir hayatnya – meski sedang sakit keras jelang ajal. Beliau pernah diingatkan untuk tidak usah berwudhu dengan mengikuti Mazhab Maliki. Namun beliau tetap bertahan: “Ojo! Tetep ae aku melo’ Imam Syafi’i. Mbesu’ hisabane ce’ gellis. Le’ melo’ imam macem-macem, hisab melo’ imam iki, imam iko, suwe. Le’ melo’ imam siji enak, gellis hisabane(Tidak! Saya tetap ikut Imam asy-Syafi’i. Agar di Hari Kiamat nanti hisabnya bisa berlangsung cepat. Kalau ikut imam yang macam-macam, hisabnya nanti harus ikut imam ini, lalu ikut imam itu, sehingga hisabnya lama. Tapi kalau hanya ikut satu imam, hisabnya lebih cepat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar