Rabu, 31 Desember 2014

TUJUH PERKARA YANG MEMBINASAKAN

JAUHILAH TUJUH PERKARA YANG MEMBINASAKAN INI
Dari sahabat Abu Hurairoh berkata bahwa
Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda :
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المَُوْبِقَاتِ ؟ قَالُوا يَارَسُوْلَ اللهِ وَ مَا هُنَّ ؟ قَالَ الشِرْكُ بِاللهِ وَ السِّحْرُ وَ قَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَ أَكْلُ الرِّبَا وَ أَكْلُ ماَلِ الْيَتِيْمِ وَ التَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَ قَذْفُ الْمحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ
“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan,
lalu para sahabat bertanya:
“Wahai Rasulullah, apa tujuh perkara tersebut ?. Beliau menjawab:
“-Berbuat syirik kepada Allah,
-sihir,
-membunuh jiwa yang diharamkan untuk dibunuh kecuali dengan haq (benar),
-makan riba,
-makan harta anak yatim,
-lari dari -pertempuran dan
-menuduh zina wanita mukminah yang terhormat serta menjaga kehormatan”.
(HR, Bukhari dan Muslim)

Sujud Sahwi

Definisi Sujud Sahwi
Sahwi secara bahasa bermakna lupa atau lalai. Sujud sahwi secara istilah adalah sujud yang dilakukan di akhir shalat atau setelah shalat untuk menutupi cacat dalam shalat karena meninggalkan sesuatu yang diperintahkan atau mengerjakan sesuatu yang dilarang dengan tidak sengaja.

Pensyariatan Sujud Sahwi
Para ulama madzhab sepakat mengenai disyariatkannya sujud sahwi. Di antara dalil yang menunjukkan pensyariatannya adalah hadits-hadits berikut ini. Hadits-hadits ini pun nantinya akan dijadikan landasan dalam pembahasan sujud sahwi selanjutnya.

1. Hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Apabila adzan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar adzan tersebut. Apabila adzan selesai dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan iqomah, setan pun berpaling lagi. Apabila iqamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali, ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya. Dia berkata, “Ingatlah demikian, ingatlah demikian untuk sesuatu yang sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat. Apabila salah seorang dari kalian tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, hendaklah dia bersujud dua kali dalam keadaan duduk.”
(HR. Bukhari no. 1231 dan Muslim no. 389)

2. Hadits Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, tiga ataukah empat rakaat maka buanglah keraguan, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia shalat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan shalatnya. Lalu jika ternyata shalatnya memang empat rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.
(HR. Muslim no. 571)

3. Hadits ‘Imron bin Hushain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat ‘Ashar lalu beliau salam pada raka’at ketiga. Setelah itu beliau memasuki rumahnya. Lalu seorang laki-laki yang bernama al-Khirbaq (yang tangannya panjang) menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya, “Wahai Rasulullah!” Lalu ia menyebutkan sesuatu yang dikerjakan oleh beliau tadi. Akhirnya, beliau keluar dalam keadaan marah sambil menyeret rida’nya (pakaian bagian atas) hingga berhenti pada orang-orang seraya bertanya, “Apakah benar yang dikatakan orang ini?“ Mereka menjawab, “Ya benar”. Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka’at yang kurang tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.
(HR. Muslim n o. 574)

4. Hadits ‘Abdullah bin Buhainah.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat Zhuhur namun tidak melakukan duduk (tasyahud awal). Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali, dan beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk sebelum. Beliau lakukan seperti ini sebelum salam. Maka orang-orang mengikuti sujud bersama beliau sebagai ganti yang terlupa dari duduk (tasyahud awal).
(HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570)

Lalu apa hukum sujud sahwi?
Mengenai hukum sujud sahwi para ulama berselisih menjadi dua pendapat, ada yang mengatakan wajib dan ada pula yang mengatakan sunnah. Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini dan lebih menentramkan hati adalah pendapat yang menyatakan wajib. Hal ini disebabkan dua alasan:
  1. Dalam hadits yang menjelaskan sujud sahwi seringkali menggunakan kata perintah. Sedangkan kata perintah hukum asalnya adalah wajib.
  2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukan sujud sahwi –ketika ada sebabnya- dan tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan bahwa beliau pernah meninggalkannya.
Sebab Adanya Sujud Sahwi

Pertama: Karena adanya Kekurangan.
  • Rincian 1: Meninggalkan rukun shalat seperti lupa ruku’ dan sujud.
  1. Jika meninggalkan rukun shalat dalam keadaan lupa, kemudian ia mengingatnya sebelum memulai membaca Al Fatihah pada raka’at berikutnya, maka hendaklah ia mengulangi rukun yang ia tinggalkan tadi, dilanjutkan melakukan rukun yang setelahnya. Kemudian hendaklah ia melakukan sujud sahwi di akhir shalat.
  2. Jika meninggalkan rukun shalat dalam keadaan lupa, kemudian ia mengingatnya setelah memulai membaca Al Fatihah pada raka’at berikutnya, maka raka’at sebelumnya yang terdapat kekurangan rukun tadi jadi batal. Ketika itu, ia membatalkan raka’at yang terdapat kekurangan rukunnya tadi dan ia kembali menyempurnakan shalatnya. Kemudian hendaklah ia melakukan sujud sahwi di akhir shalat.
  3. Jika lupa melakukan melakukan satu raka’at atau lebih (misalnya baru melakukan dua raka’at shalat Zhuhur, namun sudah salam ketika itu), maka hendaklah ia tambah kekurangan raka’at ketika ia ingat. Kemudian hendaklah ia melakukan sujud sahwi sesudah salam.
  • Rincian 2: Meninggalkan wajib shalat seperti tasyahud awwal.
  1. Jika meninggalkan wajib shalat, lalu mampu untuk kembali melakukannya dan ia belum beranjak dari tempatnya, maka hendaklah ia melakukan wajib shalat tersebut. Pada saat ini tidak ada kewajiban sujud sahwi.
  2. Jika meninggalkan wajib shalat, lalu mengingatnya setelah beranjak dari tempatnya, namun belum sampai pada rukun selanjutnya, maka hendaklah ia kembali melakukan wajib shalat tadi. Pada saat ini juga tidak ada sujud sahwi.
  3. Jika ia meninggalkan wajib shalat, ia mengingatnya setelah beranjak dari tempatnya dan setelah sampai pada rukun sesudahnya, maka ia tidak perlu kembali melakukan wajib shalat tadi, ia terus melanjutkan shalatnya. Pada saat ini, ia tutup kekurangan tadi dengan sujud sahwi.
Keadaan tentang wajib shalat ini diterangkan dalam hadits Al Mughirah bin Syu’bah. Ia mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Jika salah seorang dari kalian berdiri dari raka’at kedua (lupa tasyahud awwal) dan belum tegak berdirinya, maka hendaknya ia duduk. Tetapi jika telah tegak, maka janganlah ia duduk (kembali). Namun hendaklah ia sujud sahwi dengan dua kali sujud.”
(HR. Ibnu Majah no. 1208 dan Ahmad 4/253)

Kedua: Karena adanya Penambahan.
  1. Jika seseorang lupa sehingga menambah satu raka’at atau lebih, lalu ia mengingatnya di tengah-tengah tambahan raka’at tadi, hendaklah ia langsung duduk, lalu tasyahud akhir, kemudian salam. Kemudian setelah itu, ia melakukan sujud sahwi sesudah salam.
  2. Jika ia ingat adanya tambahan raka’at setelah selesai salam (setelah shalat selesai),  maka ia sujud ketika ia ingat, kemudian ia salam.
Pembahasan ini dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat Zhuhur lima raka’at. Lalu ada menanyakan kepada beliau, “Apakah engkau menambah dalam shalat?” Beliau pun menjawab, “Memangnya apa yang terjadi?” Orang tadi berkata, “Engkau shalat lima raka’at.” Setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud dua kali setelah ia salam tadi.
(HR. Bukhari no. 1226 dan Muslim no. 572)

Ketiga:  Karena adanya Keraguan.
  1. Jika ia ragu-ragu –semisal ragu telah shalat tiga atau empat raka’at-, kemudian ia mengingat dan bisa menguatkan di antara keragu-raguan tadi, maka ia pilih yang ia anggap yakin. Kemudian ia nantinya akan melakukan sujud sahwi sesudah salam.
  2. Jika ia ragu-ragu –semisal ragu telah shalat tiga atau empat raka’at-, dan saat itu ia tidak bisa menguatkan di antara keragu-raguan tadi, maka ia pilih yang ia yakin (yaitu yang paling sedikit). Kemudian ia nantinya akan melakukan sujud sahwi sebelum salam.
Mengenai permasalahan ini sudah dibahas pada hadits Abu Sa’id Al Khudri yang telah lewat. Juga terdapat dalam hadits ‘Abdurahman bin ‘Auf, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Jika salah seorang dari kalian merasa ragu dalam shalatnya hingga tidak tahu satu rakaat atau dua rakaat yang telah ia kerjakan, maka hendaknya ia hitung satu rakaat. Jika tidak tahu dua atau tiga rakaat yang telah ia kerjakan, maka hendaklah ia hitung dua rakaat. Dan jika tidak tahu tiga atau empat rakaat yang telah ia kerjakan, maka hendaklah ia hitung tiga rakaat. Setelah itu sujud dua kali sebelum salam.”
(HR. Tirmidzi no. 398 dan Ibnu Majah no. 1209)

Yang perlu diperhatikan: Seseorang tidak perlu memperhatikan keragu-raguan dalam ibadah pada tiga keadaan:
  1. Jika hanya sekedar was-was yang tidak ada hakikatnya.
  2. Jika seseorang melakukan suatu ibadah selalu dilingkupi keragu-raguan, maka pada saat ini keragu-raguannya tidak perlu ia perhatikan.
  3. Jika keraguan-raguannya setelah selesai ibadah, maka tidak perlu diperhatikan selama itu bukan sesuatu yang yakin.
Demikian serial pertama mengenai sujud sahwi

Maksiat Menggelapkan Hati

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Setiap hari tidak bosan-bosannya kita melakukan maksiat. Aurat terus diumbar, tanpa pernah sadar untuk mengenakan jilbab dan menutup aurat yang sempurna.
  • Shalat 5 waktu yang sudah diketahui wajibnya seringkali ditinggalkan tanpa pernah ada rasa bersalah. Padahal meninggalkannya termasuk dosa besar yang lebih besar dari dosa zina.
  • Saudara muslim jadi incaran untuk dijadikan bahan gunjingan (alias “ghibah”). Padahal sebagaimana daging saudaranya haram dimakan, begitu pula dengan kehormatannya, haram untuk dijelek-jelekkan di saat ia tidak mengetahuinya.
  • Gambar porno jadi bahan tontonan setiap kali browsing di dunia maya.
  • Tidak hanya itu, yang lebih parah, kita selalu jadi budak dunia, sehingga ramalan primbon tidak bisa dilepas, ngalap berkah di kubur-kubur wali atau habib jadi rutinitas, dan jimat pun sebagai penglaris dan pemikat untuk mudah dapatkan dunia.

Hati ini pun tak pernah kunjung sadar. Tidak bosan-bosannya maksiat terus diterjang, detik demi detik, di saat pergantian malam dan siang. Padahal pengaruh maksiat pada hati sungguh amat luar biasa. Bahkan bisa memadamkan cahaya hati. Inilah yang patut direnungkan saat ini.

Ayat yang patut jadi renungan di hari ini adalah firman Allah Ta’ala,
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.”
(QS. Al Muthoffifin: 14)

Makna ayat di atas diterangkan dalam hadits berikut.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ) »

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’.”[1]

Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah dosa di atas tumpukan dosa sehingga bisa membuat hati itu gelap dan lama kelamaan pun mati.” Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid, Qotadah, Ibnu Zaid dan selainnya.[2]

Mujahid rahimahullah mengatakan, “Hati itu seperti telapak tangan. Awalnya ia dalam keadaan terbuka dan jika berbuat dosa, maka telapak tangan tersebut akan tergenggam. Jika berbuat dosa, maka jari-jemari perlahan-lahan akan menutup telapak tangan tersebut. Jika ia berbuat dosa lagi, maka jari lainnya akan menutup telapak tangan tadi. Akhirnya seluruh telapak tangan tadi tertutupi oleh jari-jemari.”[3]

Penulis Al Jalalain rahimahumallah menafsirkan, “Hati mereka tertutupi oleh “ar raan” seperti karat karena maksiat yang mereka perbuat.”[4]

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan perkataan Hudzaifah dalam fatawanya. Hudzaifah berkata, “Iman membuat hati nampak putih bersih. Jika seorang hamba bertambah imannya, hatinya akan semakin putih. Jika kalian membelah hati orang beriman, kalian akan melihatnya putih bercahaya. Sedangkan kemunafikan membuat hati tampak hitam kelam. Jika seorang hamba bertambah kemunafikannya, hatinya pun akan semakin gelap. Jika kalian membelah hati orang munafik, maka kalian akan melihatnya hitam mencekam.”[5]

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Jika dosa semakin bertambah, maka itu akan menutupi hati pemiliknya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan mengenai surat Al Muthoffifin ayat 14, “Yang dimaksud adalah dosa yang menumpuk di atas dosa.”[6]

Inilah di antara dampak bahaya maksiat bagi hati. Setiap maksiat membuat hati tertutup noda hitam dan lama kelamaan hati tersebut jadi tertutup. Jika hati itu tertutup, apakah mampu ia menerima seberkas cahaya kebenaran? Sungguh sangat tidak mungkin. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika hati sudah semakin gelap, maka amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran.”[7]

Perbanyaklah taubat dan istighfar, itulah yang akan menghilangkan gelapnya hati dan membuat hati semakin bercahaya sehingga mudah menerima petunjuk atau kebenaran.
Ya Allah, tunjukkanlah hati kami ini agar selalu taat pada-Mu dan berusaha menjauhi setiap maksiat yang benar-benar telah Engkau larang, apalagi dosa syirik dan kekufuran. Amin Yaa Mujibbas Saailin.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

[1] HR. At Tirmidzi no. 3334, Ibnu Majah no. 4244, Ibnu Hibban (7/27) dan Ahmad (2/297). At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[2] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Al Qurthubah, 14/268.
[3] Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7/442.
[4] Tafsir Al Jalalain, Al Mahalli dan As Suyuthi, Mawqi’ At Tafasir, 12/360
[5] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426, 15/283
[6] Ad Daa’ wad Dawaa’, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, hal. 70.
[7] Ad Daa’ wad Dawaa’, hal. 107

DOA AGAR TETAP DBERI KESEHATAN

DOA AGAR TETAP DBERI KESEHATAN
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dia berkata, “Di antara doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
“ALLOOHUMMA INNII A’UUDZU BIKA MIN ZAWAALI NI’MATIK, WA TAHAWWULI ‘AAFIYATIK, WA FUJAA’ATI NIQMATIK, WA JAMII’I SAKHOTHIK”
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya kenikmatan yang telah Engkau berikan, dari berubahnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari segala kemurkaan-Mu.
(HR. Muslim no. 2739)

Makna Dibalik Bacaan Shalat_tangan yang penuh kebaikan

TANGAN YANG PENUH DENGAN KEBAIKAN (makna dibalik bacaan shalat)

Dari Ibnu abi Aufa Radhiyallahu anhu berkata :
"Seorang lelaki Arab baduwi datang kepada Nabi dan berkata
" Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak mampu untuk belajar AlQur'an, maka ajarkanlah kepadaku sesuatu yang mencukupiku".
Beliau bersabda :
"Ucapkanlah :Subhanallah walHamdulillahi wala illaha illaAllahu Allahu Akbar, wala haula wala Quata illa billah"
 Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada tuhan yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah, Allah Maha Besar, Tiada daya dan upaya melainkan atas izin Allah".
 (HR.Abu Dawud (832), An Nasa'ai(2/143). Ad Daruqutni(I/313-314))

Lalu orang itu mengatakan seperti itu seraya menggenggamkan kedua tangannya dan berkata
"Ini adalah untuk Allah, lalu manakah bagianku ?"
Maka Beliau(Nabi) bersabda :
"Ucapkanlah :Allahumaghfirli, warhamniy, wa afiniy, warzuqniy, wahdiniy
Ya Allah Ampunilah aku, Sayangilah aku, Berilah aku keselamatan, Karuniailah aku rezeki dan Berilah aku Hidayah/petunjuk"

Lalu orang arab Baduwi itu mengucapkannya dan menggenggam kedua tangannya, maka Nabi shalallahu alaihi wassalam bersabda :
"Adapun orang ini, sungguh dia telah memenuhi kedua tangannya dengan kebaikan". 

(SHAHIH Abu Dawud (I/157)

Kelembutan Di Rumah Tanda Kebahagian

Kelembutan Di Rumah Tanda Kebahagian.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺇِﺫَﺍ ﺍﺭَﺍﺩَ ﺑِﺎﻫْﻞِ ﺑَﻴْﺖٍ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﺃَﺩْﺧَﻞَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢ ﺍﻟﺮِّﻓْﻖَ
"Sesungguhnya jika Allah menghendaki kebaikan bagi sebuah keluarga maka Allah akan memasukan kelembutan kepada mereka" (HR Ahmad dan dishahikan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 523)

Renungkanlah kondisi rumah tanggamu…jika selalu dipenuhi denga suara keras, lantang, kekasaran…,
bentakan, pukulan terhadap anak-anak…jeritan anak- anakmu…, mengangkat suara di hadapan suami…,
Maka Ketahuilah…engkau sedang jauh dari kebaikan… Segera rubahlah sikapmu…perbaiki kondisi rumahmu, penuhi dengan senyuman, kelembutan, niscaya Allah menebar kebaikan dalam keluargamu.
Ditulis oleh Ustadz Firanda Andirja, MA

KUNCI-KUNCIYANG WAJIB DIKETAHUI OLEH SEORANG MUSLIM

KUNCI-KUNCIYANG WAJIB DIKETAHUI OLEH SEORANG MUSLIM 📛
Berkata Ibnul Qoyyim rahimahulullah
"Allah azza wazalla & rasul-Nya memberitahukan kpd kita kunci- kunci perkara-perkara penting dlm hidup ini :
1. Kunci Syurga:
TAUHID
2. Kunci Kebaikan:
JUJUR
3. Kunci Ilmu:
BERTANYA & MENYIMAK
4. Kunci Taufiq :
TAKUT & MENGHARAP KEPADA ALLAH
5. Kunci Ijabah Doa:
TIDAK BOSAN BERDO'A
6. Kunci dekat dgn Allah :
BERSERAH DIRI , HATI SUCI , CINTA & BENCI KARENA ALLAH
7. Kunci Kesucian Hati:
TADABBUR AL-QUR'AN , BANYAK DO'A SAAT SAHUR & MENINGGALKAN MAKSIAT SECARA TOTAL
8. Kunci Rahmat Allah
BERIBADAH KEPADA-NYA DENGAN BENAR & BERMANFAAT BAGI ORG LAIN
9. Kunci Rezeki:
IKHTIAR YG OPTIMAL DI DUKUNG OLEH ISTIGHFAR & TAQWA
10. Kunci Kewibawaan :
TAAT KEPADA ALLAH & RASUL-NYA
11. Kunci Seluruh Kebaikan :
HANYA BERHARAP KEPADA ALLAH & SELALU BERORIENTASI KEPADA AKHIRAT
12. Kunci Semua Keburukan :
CINTA DUNIA & TERLALU BANYAK BERANGAN-ANGAN
Mengetahui kunci setiap perkara penting merupakan ilmu yg sangat bermanfaat, tdk seorang pun yg dpt mengetahuinya

TIDAK ADA KESIALAN DALAM BULAN SAFAR

TIDAK ADA KESIALAN DALAM BULAN SAFAR
Nabi shalallahu alaihi wassalam bersabda
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Safar.”
(HR. Al-Bukhari 5437, Muslim 2220, Abu Daud 3911, Ahmad (II/327)) Hadits SHAHIH

Bersabar

BERSABAR…
Penantian yang terasa panjang mungkin terasa membosankan.
Hati tidak bisa menahan jika mau menunggu lama.
Ada yang pingin cepat meraih harta, malah tempuh dengan jalan berutang riba, mencuri dan cara haram lainnya.
Ada yang ingin merasakan nikmat syahwat, namun tidak mau sabar menanti menikah malah menempuh zina atau perselingkuhan yang tidak halal.
Padahal jika kita mau BERSABAR tentu tetap sama akan meraih yang halal. Ketahuilah bahwa sabar adalah karunia terbesar.
Dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Karunia yang terbaik yang Allah berikan pada seseorang adalah sikap SABAR.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman disebutkan bahwa sabar adalah separuh iman.
Umar bin Khottob juga berkata, “Kami mendapatkan kebahagiaan dalam hidup kami dengan BERSABAR.” (HR. Bukhari)

DIANTARA WAKTU WAKTU MUSTAJAB UNTUK BERDOA

DIANTARA WAKTU WAKTU MUSTAJAB UNTUK BERDOA. adalah Hari Rabu antara Dzuhur dan Ashar,
Sunnah ini belum diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin, yaitu dikabulkannya doa diantara shalat Zhuhur dan Ashar dihari Rabu. Ini diceritakan oleh Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu:
أن النبي صلى الله عليه وسلم دعا في مسجد الفتح ثلاثا يوم الاثنين، ويوم الثلاثاء، ويوم الأربعاء، فاستُجيب له يوم الأربعاء بين الصلاتين فعُرِفَ البِشْرُ في وجهه
قال جابر: فلم ينزل بي أمر مهمٌّ غليظ إِلاّ توخَّيْتُ تلك الساعة فأدعو فيها فأعرف الإجابة
“Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam berdoa di Masjid Al Fath 3 kali, yaitu hari Senin, Selasa dan Rabu. Pada hari Rabu lah doanya dikabulkan, yaitu diantara dua shalat. Ini diketahui dari kegembiraan di wajah beliau. Berkata Jabir : ‘Tidaklah suatu perkara penting yang berat pada saya kecuali saya memilih waktu ini untuk berdoa,dan saya mendapati dikabulkannya doa saya‘”

Dalam riwayat lain:
فاستجيب له يوم الأربعاء بين الصلاتين الظهر والعصر
“Pada hari Rabu lah doanya dikabulkan, yaitu di antara shalat Zhuhur dan Ashar” (HR. Ahmad, no. 14603, Al Haitsami dalam Majma Az Zawaid, 4/15, berkata: “Semua perawinya tsiqah”, juga dishahihkan Al albani)

GELAPNYA ALAM KUBUR

pernahkah kita berpikir? Akan gelapnya Kubur?
bagaimana kelak nasib kita?
Bagaimana Seandainya Malaikat Maut datang Mencabut Ruh-Ruh kita tanpa adanya pengumuman sebelumnya dan tanpa adanya persiapan yg matang ?
Apa dan bagaimana kita?...
Maka Mu'min yg cerdas adalah yg paling banyak mengingat kematian, Rasulullah ketika ditanya Mukmin manakah yg paling cerdas?
ﺃﻛﺜﺮﻫﻢ ﻟﻠﻤﻮﺕ ﺫﻛﺮﺍ ﻭ ﺃﺣﺴﻨﻬﻢ ﻟﻤﺎ ﺑﻌﺪﻩ
ﺇﺳﺘﻌﺪﺍﺩﺍ ﺃﻭﻟﺌﻚ ﺍﻷﻛﻴﺎﺱ
“Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259)

4 Penyakit Hati Dan Penawarnya

4 Penyakit Hati Dan Penawarnya
Boleh jadi keempat penyakit dibwah ini sedang hinggap di hati anda, maka perhatikanlah penawar yang telah ALLAH berikan kepada anda.
Jika anda terjerat hawa nafsu liar dan tidak bisa mengendalikannya, maka LIHATLAH bagaimana perhatian anda terhadap SHALAT.
Karena nafsu liar timbul dari sikap menyepelekan shalat.
ALLAH berfirman,
فخلف من بعدهم خلف أضاعوا الصلاة واتبعوا الشهوات فسوف يلقون غيا (٥٩)
"Kemudian datanglah setelah mereka para pengganti yg "MENGABAIKAN SHALAT dan MEMPERTURUTKAN SYAHWAT, maka kelak mereka akan tersesat." (QS. Maryam (19) : 59)
Jika hati anda keras, berperangai buruk, dan anda merasa jauh dari hidayah, maka PERHATIKANLAH bagaimana hubunganmu dgn kedua orang tuamu, terutama ibumu.
Krn perangai jelek muncul dari kedurhakaan terhadap orang tua.
ALLAH berfirman,
وبراً بوالدتى ولم يجعلنى جبارا شقيا
"Dan aku pun berbakti kpd ibuku, sehingga ALLAH TIDAK MENJADIKAN aku seorang yang sombong lagi celaka." (QS. Maryam (19) : 32)
Jika kehidupan anda terasa sempit, dan perasaan anda selalu gusar, maka LIHATLAH bagaimana perlakuan anda terhadap Al-Qur'an.
Karena kesempitan hidup berasal dari jauhnya anda terhadap Al-Qur'an.
ALLAH berfirman,
ومن أعرض عن ذكري فإن له معيشةً ضنكاً
"Dan brgsiapa BERPALING dari peringatan-KU (Al-Qur'an) niscaya baginya sungguh penghidupan yg sempit." (QS. Thaha (20) : 124)
Jika anda merasa ragu2 diatas kebenaran dan dihinggapi was2, maka PERHATIKANLAH diri anda, apakah anda sdh melaksanakan nasihat yg selama ini telah anda dengar?
Karena keraguan tumbuh dari penolakan nasihat.
ALLAH berfirman,
ولو أنهم فعلوا ما يوعظون به لكان خيراً لهم وأشد تثبيتا
"Dan sesungguhnya jikalau mereka mau MELAKSANAKAN NASEHAT yg sampai kpd mereka, tentu lah yg demikian lbh baik bagi mereka dan lbh menguatkan iman mereka." (QS. An-Nisa (4) : 66)
Mudah2an kita termasuk org2 yg mau mengamalkan nasehat ini. Amiin

Ringkasan Shahih Bukhari : " Kitab Azan "

Ringkasan Shahih Bukhari : " Kitab Azan "
Bab Ke-36: Orang yang Duduk di Masjid untuk Menantikan Shalat dan Perihal Keutamaan Masjid

362. Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Tujuh orang yang dilindungi Allah Ta'ala pada hari kiamat dalam naungan-Nya pada hari tidak ada naungan selain naunganNya. Yaitu, imam (pemimpin) yang adil; pemuda yang tekun beribadah kepada Tuhannya; orang yang hatinya terpancang (terpaut) di masjid; dua orang yang saling mencintai karena Allah yang berkumpul dan berpisah karena Allah; seorang laki-laki yang diminta (diajak) oleh oleh wanita yang berkedudukan dan berparas cantik untuk memenuhi nafsunya namun ia menjawab, 'Sesungguhnya saya takut kepada Allah'; seorang laki-laki yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dinafkahkan oleh tangan kanannya; dan seseorang yang berzikir kepada Allah di tempat yang sunyi lalu matanya mencucurkan (air mata)."


363. Humaid berkata, "Anas pernah ditanya orang, 'Adakah Rasulullah memakai cincin?' Dia menjawab, 'Pernah. Pada suatu malam Rasulullah menunda shalat Isya hingga tengah malam. Sesudah shalat, Rasulullah menghadapkan muka beliau kepada kami sambil bersabda, 'Orang-orang telah shalat (Dan dalam riwayat Qurrah bin Khalid, katanya, 'Kami menantikan al-Hasan, dan dia melambatkan kedatangannya kepada kami, hingga kami mendekati waktu kedatangannya, lalu dia datang. Kemudian dia berkata, 'Kami diundang oleh tetangga itu.' Menurutnya, Anas berkata, 'Kami menantikan Nabi pada suatu malam hingga tengah malam. Kemudian beliau datang, lalu shalat dengan kami. Kemudian bersabda, 'Ingatlah, sesungguhnya orang-orang sudah shalat) bahkan mereka telah tidur. Tetapi, sesungguhnya kamu semua dianggap seperti berada dalam shalat, sejak kamu menantikan shalat itu.' (Dalam riwayat yang lain: 'Sesungguhnya kamu dianggap sedang melakukan shalat selama kamu menantikannya. Sesungguhnya kaum itu senantiasa berada di dalam kebaikan selama mereka menantikan kebaikan.) Kemudian Anas menambahkan, 'Seolah-olah tampak olehku kilat cincin Nabi ketika itu.'"


Bab Ke-37: Keutamaan Orang yang Pagi dan Sore Hari Pergi ke Masjid

364. Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Barangsiapa yang pagi-pagi dan petang hari pergi ke masjid, maka Allah menyediakan tempat tinggalnya di surga setiap kali ia pergi pagi-pagi atau sore hari."

HADITS QUDSY : " HUSNUZH ZHAN (BAIK SANGKA) KEPADA ALLAH

HADITS QUDSY : " HUSNUZH ZHAN (BAIK SANGKA) KEPADA ALLAH TA'ALA "
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam. bersabda : "Allah Ta'ala berfirman : "Aku menurut sangkaan hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya apabila ia ingat kepadaKu. Jika ia ingat kepadaKu dalam dirinya maka Aku mengingatnya dalam diriKu. Jika ia ingat kepadaKu dalam kelompok orang-orang yang lebih baik dari kelompok mereka. Jika ia mendekat kepadaKu sejengkal maka Aku mendekat kepadanya sehasta. jika ia mendekat kepadaKu sehasta maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepadaKu dengan berjalan maka Aku datang kepadanya dengan berlari-lari kecil". (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda : "Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman : "Aku menurut dugaan hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya apabila ia ingat kepadaKu. (Hadits ditakhrij oleh Turmidzi).

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam. bersabda : Allah Ta'ala. berfirman : "Aku menurut sangkaan hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya ketika ia mengingatKu. Jika ia mengingatKu dalam dirinya maka Aku mengingatnya dalam diriKu. Jika ia mengingatKu dalam kelompok orang-orang yang lebih baik dari padanya. Jika ia mendekat kepadaKu sejengkal maka Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepadaKu sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepadaKu dengan berjalan maka Aku datang kepadanya dengan berlari-lari kecil". (Hadits ditakhrij oleh At Turmidzi).
Dari Abu Hurairah ra., dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam, bersabda : "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman : "Aku bersama hambaKu apabila ia ingat kepadaKu dan kedua bibirnya bergerak (mengucapkan dzikir) kepadaKu". (Hadits ditakhrij oleh Ibnu Majah).
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasuulullah saw. bersabda : "Allah Ta'ala. berfirman : "Aku menurut sangkaan hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya ketika ia mengingatKu. Jika ia ingat kepadaKu dalam dirinya maka Aku ingat kepadanya dalam diriKu. Jika ia ingat kepadaKu dalam kelompok orang banyak maka Aku mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari padanya. Jika ia mendekat kepadaKu sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia datang kepadaKu dengan berjalan maka Aku datang kepadanya dengan berlari-lari kecil''. (Hadits ditakhrij oleh Ibnu Majah).

Senin, 29 Desember 2014

Tentang ORang Yahudi dan Nasrani

Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? (AL QURAN SURAT 10. YUNUS AYAT 68)
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik." (AL QURAN SURAT 3. ALI 'IMRAN
AYAT 67)
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.(AL QURAN SURAT 2. AL BAQARAH AYAT 120)
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk mereka." Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.
Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah mendahului orang Yahudi dan Nasrani dengan ucapan salam, bila bertemu dengan mereka di sebuah jalan usahakanlah mereka mendapat jalan yang paling sempit." Riwayat Muslim.
Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Sungguh kamu sekalian akan mengikuti sunah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga walaupun mereka masuk ke dalam sarang biawak kamu sekalian pun akan mengikuti mereka. Kami bertanya: Wahai Rasulullah! Orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani? Beliau menjawab: Lalu siapa lagi selain mereka. (Shahih Muslim No.4822
Tiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah-Islami). Ayah dan ibunya lah kelak yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah api dan berhala). (HR. Bukhari)
Dari 'Amr bin al-'Ash r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Pemisahan -yakni perbedaan- antara puasa kita dengan puasanya kaum ahli kitab -yakni kaum Yahudi dan Nasrani- itu ialah adanya makan sahur." (Riwayat Muslim)
Apabila kamu saling berjumpa maka saling mengucap salam dan bersalam-salaman, dan bila berpisah maka berpisahlah dengan ucapan istighfar. (HR. Ath-Thahawi)
Sahabat Anas Ra berkata, "Kami disuruh oleh Rasulullah Saw agar jawaban kami tidak lebih daripada "wa'alaikum". (HR. Ad-Dainuri).
Penjelasan:
Yakni ketika orang non muslim (Yahudi, Nasrani, dan lain-lain) memberi salam kepada seorang muslim maka jawabannya tidak boleh lebih dari: "Wa'alaikum," artinya: "Dan juga bagimu". Namun jika yang mengucapkan salam tersebut orang Islam, maka kita harus membalasnya dengan ucapan yang lebih baik, atau minimal sama. Firman Allah, "Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu." (Surat 4. AN NISAA' - Ayat 86)

WANITA-WANITA YANG HARAM (Tidak Boleh) DI KAWINI (NIKAHI)

" WANITA-WANITA YANG HARAM (Tidak Boleh) DI KAWINI (NIKAHI) "
( Al Quran Surat 2. Al Baqarah Ayat 221 )
(221). Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
( Al Quran Surat 4. An Nisaa' Ayat 22-24 )
(22). Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
(23). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(24). dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki[282] (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian[283] (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu[284]. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Catatan Kaki :
---------------------
[281]. Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. Dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. Sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
[282]. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[283]. Ialah: selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An Nisaa' ayat 23 dan 24.
[284]. Ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan

SEJARAH TAHUN BARU 1 JANUARI

SEJARAH TAHUN BARU 1 JANUARI.,
Tahukah Anda sejarah Tahun Baru 1 Januari?
"Semenjak abad ke 46 SM Raja Romawi Julius Caesar menetapkan 1 Januari sebagai HARI PERMULAAN tahun.Orang Romawi MEMPERSEMBAHKAN hari 1 Januari kepada JANUS, DEWA SEGALA GERBANG, PINTU-PINTU DAN PERMULAAN(WAKTU).
Bulan Januari diambil dari nama Janus sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua wajah, Satu wajah menghadap ke (masa) depan dan satu wajah lagi menghadap ke (masa) lalu". (THE WORLD BOOK ENCYCLOPEDIA VOL.14 hal.237).
Yang merayakan Malam Tahun Baru dengan cara apa pun, adalah mereka ikuti Kaum Penyembah berhala
(Paganis) yang merayakan HARI JANUS, dengan mengitari api unggun, meniup terompet berpesta dan bernyanyi bersama.
"Selamat atas para PENIRU KAUM PAGANIS ROMAWI yang telah merayakan Malam Tahun Baru atau Hari Janus".
Bagi yang tidak ikut-ikutan selamatlah Anda, karna Anda tetap terus berkomitmen dengan QS. Al An'am: 161-163 :
"Katakanlah (Muhammad)! 'Sesungguhnya Rabbku telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus. Dia Ibrahim tidak termasuk orang orang musyrik'.
"Katakanlah(Muhammad)! 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku dan matiku hanya-lah untuk Allah, Rabb semeseta alam. Tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama tama berserah diri (muslim)".
QS. Al An'am: 79 :
"Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Allah, yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar. Dan aku bukanlah termasuk orang orang musyrik". (1/1/2013).
Penulis: Ust. Abu Yahya Badru Salam, Lc. حفظه اللّه تعال

Biografi singkat Muhammad bin Abdul Wahab

Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin Barid bin Musyarraf at Tamimi lahir pada tahun 1115 H/ 1703 M di daerah Uyainah yang merupakan bagian dari Najd, terletak 70 km di utara Riyadl. Semenjak kecil ia belajar agama kepada para ulama yang berada di Makkah dan Madinah serta ke beberapa daerah seperti Ihsa` dan Basrah.

Menurut sejarawan wahabi Ibnu Ghannam, kondisi mayoritas kaum muslimin di awal abad ke-12, sebelum dakwah IAW telah bergelimang dengan kesyirikan dan kembali ke era jahiliyah. Hal itu disebabkan karena kebodohan mereka dan semaraknya para juru dakwah yang mengajak kepada kesesatan dan kesyirikan. Demikian juga –dalam pandangan Ibnu Ghannam- mereka berpaling dari tauhid dan menyembah kaum shalihin, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia, serta menyembah kuburan-kuburan mereka. Bahkan kesesatan kaum muslimin tersebut sebenarnya telah terjadi berabad-abad yang silam.

Pandangan Ibnu Ghannam di atas tentunya sangat berlebihan. Karena pernyataan tersebut bertentangan dengan fakta yang ada. Kondisi kaum muslimin saat itu tidak berbeda dengan kondisi kaum muslimin di zaman kita sekarang ini. Ziarah kuburan kaum shalihin dan bertabarruk dengan mereka adalah aktivitas ritual kaum muslimin semenjak zaman Nabi hingga saat ini. Hanya saja, ritual semacam ini tidak cocok dengan ide dasar ideologi wahabi sehingga harus dikatakan sebagai penyembahan terhadap kuburan. Tentunya saja, bagi orang yang paham agama, ziarah dan bertabarruk dengan kuburan maknanya sangat jauh sekali dengan penyembahan terhadap kuburan. Berangkat dari pemahaman yang salah inilah IAW dan para pengikutnya sampai sekarang memvonis aktivitas tersebut sebagai bentuk kesyirikan.

Menurut cacatan Ibnu Ghannam, Ibnu Abdil Wahab adalah sosok yang sangat luar biasa. Ia telah hafal Al Quran sebelum berumur sepuluh tahun. Orang tuanya pun sangat kagum dengan putranya tersebut lantaran kecerdasan dan pemahamannya meskipun ia masih kecil. Bahkan orang tuanya banyak belajar hukum islam kepada anaknya tersebut. Namun hal ini bertentangan dengan penuturan Syekh Muhammad bin Abdullah an-Najdi al-Hambali, seorang mufti madzhab hambali di Mekkah (W 1295 H), beliau menuturkan dalam kitabnya yang berjudul “As Suhub Al Waabilah ‘Ala Dlaraaihil Hanaabilah” bahwa Ibnu Abdil Wahab baru berani memulai dakwahnya secara terang-terangan pasca orang tuanya wafat. Bahkan orang tuanya sangat marah kepadanya karena ia tidak mau belajar ilmu fikih sebagaimana para pendahulunya. Lebih jauh lagi, Syekh Ahmad Zaini Dahlan, mufti madzhab Syafi’I di Mekkah di era akhir kekhilafahan ustmaniyyah mendedahkan dalam tarikhnya, beliau berkata “Awalnya Ibnu Abdil Wahab adalah seorang penuntut ilmu di Madinah Munawwarah. Ayah dan saudaranya Sulaiman bin Abdul Wahab adalah orang shaleh dan termasuk ulama. Ayah, saudara dan guru-gurunya mempunyai firasat buruk bahwa ia (IAW) akan tersesat. Hal itu setelah mereka melihat perkataan, perbuatan dan kecenderungannya di berbagai permasalahan agama” (al Futuhaat al Islamiyyah: 2/66).

Ibnu Abdil Wahab adalah sosok yang independen dan tidak mau berkiblat pemahaman kepada siapa pun, bahkan kepada gurunya. Kalau pun ada yang mempengaruhi gaya berpikirannya bisa jadi itu adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Karena pandangan IAW dalam masalah tauhid dekat dengan kedua tokoh abad ke-7 tersebut. Akan tetapi saudaranya yang bernama Sulaiman bin Abdil Wahab nampaknya tidak setuju dengan hal ini. Oleh karenanya dalam menulis bantahan terhadap saudara kandungnya tersebut dalam kitab yang berjudul “Ash Shawaiq Al Ilahiyyah Fi Roddi ‘Ala Wahabiyyah” Syekh Sulaiman memakai argumentasi-argumentasi Ibnu Taimiyah untuk mematahkan argumentasi saudaranya tersebut, khususnya dalam masalah takfir.

Independensi berpikir ini bisa kita pahami dari beberapa statemen Ibnu Abdil Wahab itu sendiri. Diantaranya ia berkata:

“Alhamdulillah aku tidak mengajak kepada madzhab sufi, ahli fikih, ahli kalam atau seorang imam dari imam-imam yang aku agungkan seperti Ibnu Qayyim, Dzhabi, Ibnu Katsir dan lainnya. Akan tetapi aku mengajak kepada Allah yang tiada sekutu bagi-Nya dan kepada sunnah Rasulullah saw.”.

Demikian juga, ia pernah berkata:

“Aku telah mencari ilmu dan orang-orang yang mengenalku menyangka bahwa aku telah memiliki ilmu. Padahal saat itu aku tidak mengetahui makna “Laa Ilaaha Illallah” dan tidak mengetahui agama Islam, sebelum anugerah (pemahaman) yang telah dikaruniakan Allah kepadaku ini. Demikian juga guru-guruku, tidak ada seorang pun dari mereka mengetahui hal itu (makna laa ilaaha illallah dan Islam). Barang siapa dari kalangan ulama sekarang mengira bahwa ia telah mengetahui makna laa ilaaha illallah, atau mengetahui makna Islam sebelum saat ini, atau mengira guru-gurunya atau seseorang mengetahui hal itu maka sungguh ia telah berdusta dan mengaku-ngaku, serta mengelabuhi manusia dan memuji dirinya dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya”. (ad Durar as Saniyyah: 10/51).

Konon menurut sebagian para ulama, Ibnu Abdil Wahab ini begitu gemar membaca sejarah orang-orang yang pernah mengaku nabi, seperti Musailamah Al Kaddzab, Al Aswad Al Unsi, dan Tulaihah Al Asdi. Oleh sebab itu, sebagian orang mengatakan bahwa sebenarnya ia mempunyai maksud untuk mengikuti jejak orang-orang yang pernah mengaku menjadi nabi tersebut. Dari spirit inilah, maka tidak heran jika statemen-statemen agama yang ia lontarkan dianggap keluar dari konsensus ulama saat itu. Tidak pelak, bantahan dan sikap penolakan atas ajaran yang ditawarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab inipun mengalir deras dari para ulama Makkah dan Madinah, sampai akhirnya dia terusir ke daerah Najd pada tahun 1142 H,dan di daerah inilah dia berusaha mengatur siasat dakwah yang dia yakini.

Dalam literatur-literatur islam klasik, bantahan yang paling terkenal justru datang dari saudara kandungnya sendiri yang bernama Syekh Sulaiman bin Abdul Wahab. Dalam rangka menasehati saudaranya itu, Syekh Sulaiman menulis sebuah risalah yang sangat kesohor yang bertajuk “As Shawâiq Al Ilâhiyah Fi Raddi ‘Ala Wahâbiyah”. Tidak hanya saudaranya yang mempunyai kekhawatiran akan pemahaman ekstrimnya. Akan tetapi Syekh Muhammad Sulaiman Al Kurdi, salah satu gurunya juga ikut menasehatinya. Dalam sebuah sumber, Syekh Sulaiman Al Kurdi pernah berpesan kepada muridnya itu:

“Wahai Ibn Abdil Wahab, keselamatan adalah teruntuk orang yang mengikuti jalan yang benar. Sungguh aku ingin menasehatimu agar segera menghentikan lisanmu dari mencela kaum muslimin. Jika kamu mendengar ada orang yang berkeyakinan bahwa ada kekuatan selain kekuatan Allah, maka kafirkanlah dia saja, dan jangan kafirkan sawadul a’dzam (mayoritas) kaum muslimin. Kamu adalah orang yang menyimpang dari golongan mayoritas kaum muslimin. Maka sesungguhnya memvonis kafir orang yang menyimpang dari golongan mayoritas itu lebih pantas, karena dia telah keluar dari jalan kaum muslimin”.

Karena cara berpikirnya yang dipandang ekstrim tersebut, IAW mengalami kesulitan untuk menyebarkan dakwahnya. Setelah terusir dari Najd, ia pergi menuju Irak. Di Irak pun ia tidak diterima hingga harus mengungsi ke Mesir. Namun keadaannya di Mesir tidak berbeda dengan di dua tempat sebelumnya. Akhirnya ia pun diusir dan memutuskan pergi ke Syam. Setelah di Syam mengalami pengusiran serupa maka ia kembali lagi ke Uyainah tempat kelahirannya. Akan tetapi pimpinan Uyainah saat itu Ustman bin Mu’ammar senantiasa mengawasi segala gerak-geriknya dengan sangat ketat sehingga terpaksa ia harus meninggalkan Uyainah menuju Dar’iyyah. Di Dar’iyyah inilah ia bak menemukan telaga di padang pasir. Di sini ia bertemu dengan Muhammad bin Sa’ud yang saat itu menjadi pemimpin di daerah tersebut. Pertemuan tersebut dirasa sangat tepat, karena keduanya saling membutuhkan; Ibnu Sa’ud membutuhkan agamawan untuk menguatkan basis dukungan politiknya, sementara Ibnu Abdil Wahab membutuhkan penguasa untuk menjamin proses penyebaran ideologinya.

Abdul Aziz Ibnu Saud & Saudara2nya
Dakwah aliran Wahabi mulai mengalami perubahan yang lumayan signifikan ketika memanfaatkan kekuatan politik tersebut. Dengan adanya kesepakatan saling menguntungkan, maka sang pimpinan Dar’iyyah, Ibnu Sa’ud memerintahkan seluruh penduduk Dar’iyyah untuk mendukung dakwah yang disebarkan oleh Ibnu Abdil Wahab tersebut. Oleh sebab itu kesepakatan bahwa pemegang kekuasaan politik harus dari keturunan Ibnu Su’ud dan kekuasaan paham agama harus dari keturunan Ibnu Abdil Wahab masih sangat kentara dan terlestarikan sampai di zaman kita sekarang ini.

Menurut sebagian ulama, peperangan yang terjadi antara aliran wahabi dengan pemimpin daerah Makkah Syarif Mas’ud serta pemimpin Mesir Muhammad Ali Basya dan anaknya Ibrahim Basya tidak murni perang akibat perebutan wilayah. Akan tetapi hal itu lebih kepada sebuah peperangan ideologi agama

kitab "Da'iyah wa laisa Nabiyyan"

kitab "Da'iyah wa laisa Nabiyyan" karya syaikh hasan bin farhan almaliki yang mengkritik beberapa kitab syaikh muhammad ibn abdil wahhab yang berisi takfir atau diindikasikan demikian.
Perbahasan Pertama dalam kitab tersebut berkaitan "Penelitian Terhadap tulisan dalam Kasyf As-Syubhat karangan Muhammad Abdul Wahab".
Kemudian, kajian dilanjutkan terhadap kitab At-Tauhid karangan beliau.
Kemudian, kajian berkaitan perkataan-perkataan Muhammad Abdul Wahab dalam Ad-Durar As-Saniyyah yg di jadikan sebagai contoh.
untuk menyingkap sebagian pemikiran Takfir dalam penulisan Muhammad Abdul Wahab. buat penilaian,seseorang perlu membaca kedua-dua belah pihak, bukan satu pihak saja.
Ketiga: Masalah bid'ah...
Ini suatu salah faham yang umum di sisi pengikut Muhammad Abdul Wahab. Mereka memahami "bid'ah" dengan femahaman yang sempit lalu meluaskan penggunaannya sehingga menganggap semua yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dalam urusan agama (ibadah) termasuk ibadah umumiyyah adalah bid'ah.
Kitab yang dibahas antara lain kasyfusy syubuhat, kitabut tauhid dan ad durorus saniyyah.
buku Kasyfus syubhat sangat berbahaya bagi keutuhan dan persatuan umat islam.
Adalah Hasan farhan al-maliki, murid Ibn baz yang menilai pengkafiran yang dilakukan Muhammad bin abdil wahab  kepada umat islam sangat membahayakan bagi generasi muda saudi dan umat islam keseluruhan.
“cukup jika kita mengatakan bahwa sikap keras dia (Muhammad bin abdil wahab) -semoga Allah merahmati- dalam mengkafirkan (muslim) mengakibatkan bahaya yg begitu besar bagi kita dan mayoritas umat islam di dunia ini. Bukti-bukti pengkafiran syaikh sangat jelas bagi orang-orang yang Allah selamatkan dari sifat fanatik yang tak benar,,,”
“bahkan kita menyaksikan sebagian dari para fanatik syeh ini, begitu mudahnya dalam menerima doktrin-doktrin penyalahan kepada para pembesar shahabat, seperti Umar, Ali, Abi darrin ra dan orang2 semisalnya” (lihat hal.3)
Kemudian Farhan al-maliki pun menegaskan keprihatinan kumpulan risalah Muhammad bin abdil wahab “Ad-durar as-saniyah fil ajwibah an-najdiyah” yang berisi tentang bab jihad yang mencapai 2 jilid besar yang membahas memerangi umat islam, tidak ada satu katapun jihad kepada orang kafir asli. Berikut ini keterangannya:
“dan bagi orang yg membaca buku ad-durar as-saniyah, dia pasti mengetahuinya. Bahkan dalam buku ini terdapat 2 jilid besar berbicara tentang Jihad, semuanya membahas memerangi umat islam. Tak ada sepatah katapun tentang jihad terhadap orang-orang kafir, yaitu yahudi dan kristen. Padahal negri-negri muslim yang ada disekitarnya, diteluk, irak, syam terdapat orang kafir asli yang sedang menjajah umat islam…” (hal.96).


Hadis Istri yang berkhidmat

Apakah Istri Wajib Bisa Masak?
Apakah istri wajib bisa masak?
Menurut saya, istri mestinya bisa masak. Apalagi penilaian orang-orang terhadap istri yang bisa masak itu dianggap baik daripada yang tidak. Istri yang bisa masak dinilai pula sebagai wanita yang benar-benar menyenangkan suami.
Kalau demikian, wanita tersebut termasuk dalam hadits berikut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Apakah itu berarti memasak itu wajib bagi istri?
Ini kembali ke masalah apakah mengurus pekerjaan rumah itu wajib bagi istri ataukah tidak. Menurut jumhur atau mayoritas ulama pekerjaan tersebut tidaklah wajib.
Namun pendapat yang lebih baik apakah wajib ataukah tidak, ini dilihat dari urf atau kebiasaan masyarakat. Pendapat ini dianut oleh Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Apa maksudnya?
Jika masyarakat kota mungkin wajar punya pembantu. Pembantulah yang mengurus urusan rumah, mulai dari memasak, mencuci, menyetrika bahkan sampai mengurus anak. Contohnya pula di sini, di Saudi Arabia, suatu hal yang wajar jikalau kaum muslimin di sana rata-rata memiliki pembantu rumah tangga di rumahnya. Kalau memang urf atau kebiasaannya seperti itu, maka suami bisa dituntut menyediakan pembantu.
Sedangkan bagi wanita yang hidup di desa menganggap lumrah dan wajar mengerjakan itu semua seorang diri kecuali memang berat barulah dicarikan pembantu. Namun asalnya wanita pedesaan menganggap semua itu memang sudah jadi kewajibannya sebagai seorang istri. Ketika bangun pagi sudah menyajikan sarapan dan menghidangkan teh, lanjut mencuci, dan menyetrika di siang hari. Mereka pun tahu harus momong dan mengasuh anak-anak. Namun suami tetap dituntut peran sertanya oleh wanita desa untuk meringankan bebannya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
ثُمَّ مِنْ هَؤُلَاءِ مَنْ قَالَ: تَجِبُ الْخِدْمَةُ الْيَسِيرَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: تَجِبُ الْخِدْمَةُ بِالْمَعْرُوفِ، وَهَذَا هُوَ الصَّوَابُ، فَعَلَيْهَا أَنْ تَخْدُمَهُ الْخِدْمَةَ الْمَعْرُوفَةَ مِنْ مِثْلِهَا لِمِثْلِهِ، وَيَتَنَوَّعُ ذَلِكَ بِتَنَوُّعِ الْأَحْوَالِ: فَخِدْمَةُ الْبَدْوِيَّةِ لَيْسَتْ كَخِدْمَةِ الْقَرَوِيَّةِ، وَخِدْمَةُ الْقَوِيَّةِ لَيْسَتْ كَخِدْمَةِ الضَّعِيفَةِ. الفتاوى الكبرى .
“Ada ulama yang menyatakan bahwa wajib bagi istri mengurus pekerjaan rumah yang ringan. Sebagian ulama menyatakan bahwa yang wajib adalah yang dianggap oleh urf (kebiasaan masyarakat). Pendapat yang terakhir inilah yang lebih tepat. Hendaklah wanita mengurus pekerjaan rumah sesuai dengan yang berlaku di masyarakatnya, itulah yang ia tunaikan pada suami. Ini semua akan berbeda-beda tergantung kondisi. Orang badui dibanding orang kota tentu berbeda dalam mengurus rumah. Begitu pula istri yang kuat dengan istri yang lemah kondisinya berbeda pula dalam hal mengurus rumah.” (Disebutkan dalam Fatawa Al Kubro)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Fatawa Nur ‘alad Darb berkata,
فعليهن مثل ما عليهم بالمعروف، ولهن ما لهم بالمعروف، وبناءً على ذلك فإننا قد نقول في وقت من الأوقات إنه يلزمها أن تخدم زوجها في الطبخ وغسيل الأواني وغسيل ثيابه وثيابها وثياب أولادها وحضانة ولدها والقيام بمصالحه، وقد نقول في وقت آخر إنه لا يلزمها أن تطبخ ولا يلزمها أن تغسل ثيابها ولا ثياب زوجها ولا ثياب أولادها حسب ما يجري به العرف المتبع المعتاد
“Istri punya kewajiban untuk mengurus rumahnya sebagaimana yang berlaku di masyarakatnya. Berdasarkan hal itu, kami akan berkata berbeda untuk setiap zaman. Mungkin satu waktu, mengurus rumah dengan memasak, membersihkan perkakas, mencuci pakaian suami, pakaiannya dan pakaian anak-anak itu wajib. Begitu pula dalam hal mengurus anak-anak dan mengurus hal-hal yang maslahat di rumah jadi harus. Namun hal ini bisa jadi berbeda di zaman yang berbeda. Di suatu zaman bisa jadi memasak bukan jadi kewajiban, begitu pula dalam hal mencuci pakaian di rumah untuk suami dan anak-anak. Jadi apa yang berlaku di masyarakat, itulah yang diikuti.”
Perlu diingatkan bahwa tetap mengurus rumah tangga bagi istri itu lebih utama daripada ia keluar rumah. Allah berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan sebagaimana dandan ala jahiliah terdahulu” (QS Al Ahzab: 33).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas bahwa janganlah wanita keluar rumah kecuali ada hajat seperti ingin menunaikan shalat di masjid selama memenuhi syarat-syaratnya. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 182).
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ أَنَّ ابْنَ قَارِظٍ أَخْبَرَهُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ishaaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah, dari ‘Ubaidullaah bin Abu Ja’far, bahwa Ibnu Qaarizh telah mengkhabarkannya dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf -radhiyallaahu ‘anhu-, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang istri shalat fardhu lima waktu, berpuasa sebulan penuh (di bulan Ramadhan), menjaga kemaluannya dan menta’ati suaminya, maka dikatakan kepadanya, “Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang kau kehendaki!”
[Musnad Ahmad no. 1664]
Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri semua sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya.
1. Mazhab al-Hanafi
Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai’ menyebutkan : Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan unutk memasak dan mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang siap santap.
Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan : Seandainya seorang istri berkata,”Saya tidak mau masak dan membuat roti”, maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap santan, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.
2. Mazhab Maliki
Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada disebutkan : wajib atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami memiliki keluasan rejeki sementara istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami adalah pihak yang wajib berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk menyediakan pembantu buat istrinya.
3. Mazhab As-Syafi’i
Di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan : Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta’), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.
4. Mazhab Hanabilah
Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan nash Imam Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.
5. Mazhab Az-Zhahiri
Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita juga menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah.
Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan pagi maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.
Pendapat Yang Berbeda
Namun kalau kita baca kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradawi, beliau agak kurang setuju dengan pendapat jumhur ulama ini. Beliau cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib berkihdmat di luar urusan seks kepada suaminya.
Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua itu adalah imbal balik dari nafkah yang diberikan suami kepada mereka.

Kamis, 25 Desember 2014

TENTANG KHILAFAH : PERTANYAAN DAN JAWABAN

TENTANG KHILAFAH : PERTANYAAN DAN JAWABAN
Apa yang dimaksud khilafah ?
Khilafah berasal dari kata kholafa yakhlufu khilafatan, yang bermakna mengganti. Jadi khilafah adalah pengganti Rasulullah, dan orang yang menggantikan sesuatu disebut kholifah. Itulah mengapa Sayyidina Abu Bakr dipanggil dengan sebutan (pengganti Rasulullah), dan Sayyidina Umar dipanggil dengan Kholifatu kholifati Rosulillah (pengganti kholifahnya Rasululullah), namun kemudian beliau mengganti sebuatn tersebut dengan Amirul Mu’minin (pemimpin kaum muslimin), yang kemudian dipakai oleh kholifah setelah beliau. Istilah yang mirip dengan khilafah adalah imamah, dan kholifah disebut sebagai imam.
Bagaimana hukum mengangkat kholifah ?
Mengangkat kholifah dalam arti pemimpin masyarakat yang mengatur urusan kaum muslimin (ulu-l amri) adalah wajib hukumnya, berdasarkan akal dan naql (dalil Qur’an dan Hadits). Dalil akal : kalau tidak ada pemimpin maka masyarakat akan kacau balau. Dalil naql , Allah SWT berfirman yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian pada Allah, taatlah kalian pada Rasul dan ulil amri di antara kalian. Hanya saja, kholifah secara esensial tidak harus bernama kholifah, namun bisa juga diberi nama presiden (seperti di Indonesia dan Mesir), perdana menteri (seperti di Turki dan Malaysia) atau raja (seperti di Saudi, Yordania dan Maroko)
Apakah ummat Islam sedunia harus di bawah pimpinan satu orang kholifah ?
Mengenai hal ini ada 2 pendapat :
  1. Pendapat yang mengatakan wajib, seperti dipegang oleh Imam an Nawawi dan bahkan beliau menukil adanya ijma’ tentang hal ini. Pendapat ini dipegang juga oleh kelompok Hizbut Tahrir dengan ideolognya Taqiyuddin an Nabhani.
  2. Pendapat yang mengatakan tidak wajib, seperti dipegang oleh Imamul Haromain al Juwaini (guru Imam al Ghozali), Abul Hasan al Asy’ari, Abu Ishaq al Isfaroyini dan ulama’ulama’ Malikiyyah seperti Imam al Qurthubi dan Imam asy Syaukani. Pendapat inilah yang sepertinya dipegang oleh mayoritas ummat Islam saat ini, termasuk oleh NU dan Muhammadiyah.
Hal ini didasarkan kenyataan bahwa ummat Islam terpencar dalam wilayah yang sangat luas, sehingga menyatukannya dalam satu kepemimpinan adalah tidak mungkin. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa sejak Bani Umayyah runtuh oleh pemberontakan Bani Abbas pada tahun 750 M (132 H) hingga saat ini, ummat Islam tidak lagi berada dalam satu kepemimpinan (yakni terbagi 2 : Bani Abbas di Baghdad dan Bani Umayyah II di Spanyol/Andalusia).
Apakah yang dimaksud khilafah Islamiyyah ?
Ada banyak penafsiran tentang khilafah Islamiyah. Namun menurut saya secara mudah khilafah Islamiyah bisa disebut sebagai pemerintahan Islami (bentuk susunan kalimatnya taushify, jadi  khilafah adalah man’ut dan islamiyyah adalah na’at) dan bukan pemerintahan Islam (yang kalau diterjemah dalam bahasa arab menjadi Khilafat-ul Islam). Jika satu pemerintahan bertindak adil, menaungi kebenaran dan memerangi kebathilan, maka ini adalah satu unsur dari pemerintahan yang Islami. Mencari khilafah Islamiyyah yang sempurna (dalam arti semua unsur ajaran Islam dilaksanakan secara paripurna, baik aqidah, syariah, maupun akhlaq) sepertinya tidaklah mungkin, kecuali mungkin di masa Nabi dan Khulafa’ Rosyidun. Jadi, yang bisa kita katakan : semakin banyak unsur ajaran Islam dilaksanakan dalam satu pemerintahan, semakin dia mendekati khilafah yang Islamiyyah. Jadi khilafah Islamiyyah adalah sebuah proses, dan bukan sebuah hasil akhir yang akan terjadi bila telah terpilih seorang kholifah.
Bagaimana syarat-syarat untuk bisa menjadi kholifah ?
Ada banyak pendapat ulama’ tentang syarat imamah (menjadi kholifah), artinya tidak ada pendapat yang seragam dalam kalangan ahli fiqh. Imam al Mawardy dalam kitab al Ahkamus Sulthoniyyah misalnya menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi kholifah seperti laki-laki, sehat jasmani rohani dan sebagainya
Bagaimana dengan hadits fuu bil bay’at-il awwal (tepatilah bay’at pertama) ?
Menafsirkan hadits ini harus hati-hati, karena mengandung beberapa musykilat (problematika) antara lain :
a) apa yang dimaksud dengan bay’at pertama ? Apakah bay’at yang dilakukan pertama kali oleh sekelompok orang tertentu, walaupun ia mungkin tidak berhak memilih sebagai ahl-ul hall-i wa-l aqd-i seperti bay’atnya kelompok pemberontak pada Sayyidina Ali yang oleh beliau kemudian ditolak, dengan menyatakan bahwa dalam urusan ini yang berhak adalah para ahli badr ? (Harap diingat, bahwa definisi dan syarat-syarat ahl-ul hall-i wa-l aqd-i bukanlah sesuatu yang dipahami dan disepakati oleh seluruh ummat Islam). Atau, seperti pertanyaan Imam asy Syaukani, bagaimana mungkin orang Indonesia akan membay’at orang Saudi Arabia misalnya, padahal tempat mereka berjauhan dan tidak saling mengenal satu sama lain?.  Menurut asy Syaukani, orang yang mengusulkan ini ia sebut sebagai kurang rasional dan tidak logis.
b) bagaimana jika yang dibay’at pertama kali adalah orang yang tidak berhak menjadi khalifah, seperti Yazid bin Mu’awiyah karena Mu’awiyah berjanji pada Sayyidina Hasan akan menyerahkan urusan penggantinya pada kaum muslimin namun ternyata beliau mengangkat anaknya sebagai kholifah;
c) bagaimana jika pemilik bay’at pertama telah kalah dalam pertempuran pemberontakan, sehingga secara de facto sebenarnya ia telah tidak memiliki kuasa walaupun secara de jure (hukum formal) mungkin masih disebut kholifah, seperti kasus pemberontakan Bani Abbas terhadap Bani Umayyah, dan banyak lagi pergantian kekuasaan yang melewati jalur pemberontakan ? Apakah kemudian Bani Abbas dinyatakan tidak sah, atau mereka akan dinyatakan sebagai penguasa yang sah karena secara de facto telah berkuasa (atau yang lazim disebut dalam ilmu fiqh sebagai waliyy-ul amr-idl dlorury bi-sy syawkah yang oleh orang NU pernah disematkan pada Bung Karno pada masa Demokrasi Terpimpin).
BAGAIMANA CARA SUKSESI DALAM FIQH ?
Dalam hal suksesi (pergantian kekuasaan) sebenarnya tak ada prosedur yang didasarkan nash yang pasti (qoth’i) dalam qur’an dan hadits. Namun, berdasar praktek sejarah Islam (dan kemudian dijadikan dasar fiqh) ada 3 cara : pemilihan (baik langsung seperti pada pemilihan Sy. Abu Bakr di Saqifah Bani Saidah dan Sy. Ali dalam kondisi kacau, maupun tidak langsung seperti pemilihan Sy. Utsman oleh tim 6 bentukan Sy. Umar), dengan penunjukan (seperti pemilihan Sy. Umar oleh Sy. Abu Bakr. Cara ini yang paling banyak dipakai dalam kerajaan Islam sejak Bani Umayyah hingga Saudi saat ini) maupun dengan perebutan kekuasaan (bisy syawkah) seperti dalam pendirian Bani Abbas, Bani Fathimiyyah, Bani Umayyah Spanyol dan sebagainya. Jadi, tak ada metode suksesi yang paten dalam ajaran Islam.
Apakah khilafah Islamiyah adalah solusi bagi masalah ummat Islam saat ini ?
Kholifah pada dasarnya adalah institusi politik, seperti presiden atau raja, hanya saja menggunakan istilah bahasa Arab. Karena itu, sejarah membuktikan ada kholifah yang baik dan ada pula yang tidak baik, sebagaimana ada presiden dan raja yang baik dan ada pula yang tidak baik.
Ada kholifah bernama Yazid bin Muawiyah yang menggantikan ayahnya. Ia hanya berkuasa selama 3 tahun (60 – 63 H.) namun dalam pemerintahannya terjadi tiga peristiwa yang termasuk paling buruk dalam sejarah Islam (pembunuhan Sayyidina Husain cucu Rasulullah dan keluarganya di Karbala, peristiwa Harroh (penghalalan pembunuhan, perampokan dan kejahatan selama 3 hari di Madinah), dan penyerangan terhadap Ka’bah di Makkah. Kholifah Abdul Malik bin Marwan dalam sejarah adalah kholifah besar dari Bani Umayyah. Namun dia memiliki panglima perang yang kejam yaitu al Hajjaj bin Yusuf yang terkenal membunuh banyak ummat Islam, termasuk di antaranya adalah ulama’ besar Said bin Jubair murid Ibn Abbas.
Disamping itu, ada juga kholifah yang baik dan adil. Sejarah mencatat nama Khulafa’ Rosyidun yang empat sebagai orang-orang yang baik dalam memegang amanah. Juga Umar ibn Abdil aziz, Harun ar Rasyid dan al Ma’mun yang membangun peradaban Islam [walaupun al Ma’mun pula yang memulai mihnah kholqil Qur’an (inkuisisi atas dasar isu penciptaan Qur’an) yang menyebabkan banyak ulama’ sunni ditahan, termasuk di antaranya Imam Ahmad bin Hanbal], Abdurrahman an Nashir di Andalusia dan sebagainya.
Jadi, pelaksanaan sistem khilafah atau kholifah ada yang baik dan ada yang buruk yang sangat tergantung pada siapa yang menduduki jabatan tersebut. Mereka yang membaca kitab seperti Tarikh-ul Khulafa’ karya as Suyuthi tahu persis hal ini. Patut dicatat, bahwa dalam sejarah Islam kekuasaan kholifah sangat kuat (powerful) sehingga jika dipegang oleh orang baik maka bisa sangat baik, namun jika dipegang oleh orang yang tidak baik akan menjadi sangat tidak baik. Dalam sejarah Islam juga tercatat bahwa hampir semua pemilihan kholifah adalah berdasar penunjukan oleh kholifah sebelumnya, sehingga dapat memungkinkan terjadinya politik dinasti yang tidak pasti membawa kebaikan pada ummat Islam. Sebagai catatan, hingga saat ini politik dinasti ini masih berlangsung di sebagian besar negara Arab seperti di Arab Saudi, Yordania, Maroko, Syiria, Kuwait dan sebagainya.
Apakah demokrasi adalah sistem yang BERTENTANGAN DENGAN islam ?
Sangat tergantung pada pemahaman kita tentang apa itu demokrasi. Kalau kita mengartikan demokrasi sebagai kebebasan yang tanpa batas (dan itu tak mungkin terjadi), maka demokrasi itu jelek. Kalau kita mengartikan demokrasi adalah kekuasaan rakyat di atas kekuasaan Tuhan (dalam arti atas nama rakyat bisa berbuat sewenang-wenang terhadap agama seperti terjadi di Swiss dalam bentuk pelarangan menara masjid berdasar hasil referendum, pelarangan jilbab di Prancis dan Turki) maka ia jelek adanya. Tapi kalau kita melihat demokrasi sebagai mekanisme pengambilan keputusan dari rakyat, oleh rakyat dan terutama untuk rakyat, maka hal ini baik adanya.
Ada dua cara untuk meninjau demokrasi. Yang pertama secara filosofis, dan ini yang biasa dipakai oleh penentang demokrasi. Alasan menentang demokrasi adalah karena kekuasaan rakyat dianggap akan menafikan kekuasaan Tuhan dalam arti hukum Allah akan bisa digeser oleh hukum manusia. Dalam hal ini patut ditegaskan dua hal : a) kekuasaan Allah tidak akan berkurang oleh kekuasaan manusia, karena Allah SWT adalah pemilik dan pencipta alam semesta; b) penggeseran hukum Allah dengan hukum manusia juga bisa berlangsung dalam sistem khilafah, sebagaimana sejarah telah membuktikannya. Hal ini karena pelaksanaan hukum Islam sekalipun harus dilaksanakan oleh manusia, sehingga pelanggaran terhadap hukum Islam bisa saja dilakukan oleh penguasa dengan gelar kholifah sekalipun. Kenyataan semacam inilah yang membuat tokoh pemikir sekelas Abul A’la Maududi yang pada awalnya mengusulkan teokrasi (kekuasaan Tuhan) sebagai pengganti demokrasi, akhirnya harus berkompromi dengan membuat konsep teodemokrasi (kekuasaan Tuhan dan rakyat, atau mungkin dimaknai kekuasaan rakyat dengan dasar ketuhanan).
Yang kedua tinjauan praktis yang hanya memahami demokrasi sebagai metode pengambilan keputusan dengan melibatkan rakyat. Misalnya, presiden dipilih oleh rakyat, DPR dipilih rakyat dan lain sebagainya. Keputusan yang dihasilkan oleh mekanisme ini sangat tergantung pada pemikiran yang ada di kalangan rakyat. Jika rakyatnya baik, maka insyaalLah yang terpilih adalah orang-orang baik. Dalam mekanisme semacam ini, hukum Islam bisa berkembang tanpa merubah sistem secara keseluruhan secara frontal (karena hal seperti itu seringkali mengalami kegagalan). Dalam sejarah Indonesia, masuknya UU Perkawinan Islam merupakan salah satu bukti bahwa demokrasi bisa berpihak pada hukum Islam jika rakyat (dalam arti wakil-wakilnya) mau mendukung. Jika mereka tidak mendukung, maka walaupun UU yang ada telah berdasar hukum Islam, namun dalam pelaksanaannya hampir bisa dipastikan akan mengalami kegagalan. Dalam pemahaman kedua inilah demokrasi tidak mesti bertentangan dengan Islam bahkan bisa saja kompatibel (sejalan) dengan Islam jika memang rakyatnya telah memahami keagungan ajaran Islam.
Perlu diketahui, ada dua jenis demokrasi :
a)      Demokrasi prosedural : yakni pengambilan keputusan dari rakyat dan oleh rakyat. Bentuk prosedur demokrasi yang paling jelas dalam hal ini adalah Pemilu (satu hal yang sebenarnya tidak dilarang dalam hukum Islam)
b)      Demokrasi Substansial : pengambilan keputusan untuk rakyat. Dalam pengertian ini, kita bisa mengatakan bahwa 4 kholifah adalah demokrat, dalam arti kebijakan mereka sangat memerhatikan kepentingan rakyat. Ini tentu saja tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena kaidah fiqh yang terkenal mengatakan : tashorruful imam alar ro’iyyah manuthun bil mashlahah (kebijaksanaan pemimpin atas rakyatnya tergantung pada maslahah).
Jadi, demokrasi sebagaimana khilafah, sangat tergantung pada siapa yang memegang kekuasaan karena hukum Islam sekalipun bisa disalahgunakan untuk kepentingan pribadi penguasa sebagaimana terjadi dalam sejarah kaum muslimin. Firman Allah SWT yang artinya :
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan bathil, kemudian kamu bawa kasusnya kepada hakim-hakim supaya kalian bisa memakan harta manusia dengan berdosa sedangkan kalian mengetahui (QS. Al Baqoroh :
Perlukah memperjuangkan hukum Islam dalam negara ?
Perlu, karena sepanjang  yang saya ketahui tidak ada hukum yang lebih sempurna dari hukum Islam. Hanya saja harus dipahami 3 hal :
a) hukum Islam mencakup ranah yang sangat luas, mulai dari ibadah, muamalah, munakahah, jinayah dan sebagainya. Hukum Islam juga mencakup madzhab-madzhab dengan beragam pendapatnya. Memasukkannya dalam hukum negara memerlukan pemikiran yang matang dari ummat Islam sendiri. Pengalaman yang ada terkadang adalah madzhab yang dipegang penguasa yang kemudian dijadikan alat penekan kelompok yang lain atas nama Islam, sebagaimana terjadi di masa al Ma’mun yang bermadzhab Mu’tazilah yang menekan kelompok Sunni dalam urusan kholqul Qur’an (apakah al Qur’an makhluq atau bukan), pemerintah Saudi yang mencap ulama’ yang melakukan maulid Nabi sebagai ahli bid’ah yang terkadang diusir dari Saudi (seperti kasus yang terjadi pada Habib Zain bin Sumaith), pemerintah Iran yang menekan muslim Sunni dan sebagainya. Dalam konteks ini, bisa dipahami usulan sebagian kelompok yang ingin menjadikan Islam sebagai inspirasi dan bukan aspirasi, karena dalam konteks hukum ada banyak madzhab yang berkembang dalam sejarah hukum Islam sehingga memilih pendapat mana yang kompatibel untuk suatu tempat tentu saja bukan hal yang mudah, dan memerlukan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) dari pihak-pihak yang berkompeten. Atau bisa saja kita memakai sistem yang diusulkan Hasan al Banna : bekerjasama dalam hal-hal yang kita sepakati, dan saling menghormati dalam hal-hal yang kita berbeda.
b) Masuknya hukum Islam dalam hukum sebuah negara tidak dengan serta merta menyelesaikan permasalahan ummat, karena masih tersisa masalah penegakan hukum tersebut dan hal ini akan melibatkan faktor manusia (penegak hukum) yang menegakkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya : “Sesungguhnya yang menghancurkan ummat sebelum kalian adalah jika ada orang kuat mencuri dibiarkan, dan jika ada orang lemah mencuri maka ditegakkanlah hukum”. Dalam hal ini patut direnungkan kata-kata yang dikutip Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah : “Sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil walaupun penduduknya kafir, dan tidak akan menegakkan negara yang dholim walaupun penduduknya muslim”.
قال شيخ الاسلام ابن تيميةرحمه الله

(ولهذا يروى ( الله ينصر الدولة العادلة وان كانت كافرة ( ولا ينصر الدولة الظالمة وان كانت مؤمنة
مجموع الفتاوى
28/63

في مأثورة لشيخ الإسلام ابن تيميه يقول: “إن الناس لم يتنازعوا في أن عاقبة الظلم وخيمة، وعاقبة العدل كريمة ولهذا يروى، إن الله ينصر الدولة العادلة وإن كانت كافرة ولا ينصر الدولة الظالمة وإن كانت مؤمنة”.
وما أدري من أين أتى بتلك "يروى" فقد بحثت في بضع مئات من كتب السنة وحتى الشيعة وكتب الحكماء فما وجدتها ولربما يتحفنا أحد الإخوة بمكانها
والله الملهم للصواب
c) Sering sekali kekuasaan merusak agama, dengan menjadikan agama sebagai faktor pembenar kedholiman sebagaimana dilansir oleh Jamal al Banna (adik kandung Hasan al Banna). Artinya, agama hanya dijadikan alat kekuasaan. Karena itu, mungkin perlu direnungkan pemikiran para kyai kita yang sering lebih mengutamakan perubahan watak manusia yang mengendalikan sistem dengan perbaikan akhlaq, daripada perubahan sistem yang  terkadang hanya menjadikan agama sebagai alat kekuasaan.

Tuduhan 3 Fase Kehidupan Imam Al Asy’ary

Seorang sahabat bertanya tentang tuduhan 3 fase kehidupan Imam al Asy’ary. Berikut tanggapan untuk hal tersebut.
IMAM ABUL HASAN AL ASY’ARY DAN SYUBHAT 3 FASE
Salah satu syubhat yang sering disampaikan oleh kelompok Wahhabi terkait Imam Abul Hasan al Asy’ari adalah syubhat 3 marhalah (fase). Diceritakan bahwa dalam hidupnya Imam al Asy’ari mengalami 3 fase :
1) Fase I’tizal (mengikuti aliran mu’tazilah). Ini hingga beliau berusia 40 tahun.
2) Fase mengikuti Imam Abdullah ibn Said ibn Kullab
3) Fase mengikuti ahlus sunnah wal jamaah. Hal ini menurut Wahhabi ditunjukkan oleh kitab beliau al Ibanah fi Ushulid Diyanah.

Asumsi ini mengandung 3 tuduhan :
1) Imam al Asy’ari mengalami 3 fase (yang terkenal dalam sejarah hanya 2 fase).
2) Imam Abdullah ibn Said ibn Kullab bukan ahlus sunnah (padahal beliau dikenal sebagai tokoh ahlus sunnah).
3) Kitab al Ibanah mengikuti madzhab wahhabi.
Pertama : Imam al Asy’ary adalah ulama’ terkenal dan masyhur, dan semua kitab sejarah yang terkenal hanya menyebutkan 2 fase pemikiran beliau sebagaimana dalam kitab Tabyin Kidzbil Muftary mengutip dari murid beliau Imam Ibnu Faurok (hal. 127), Ibn Khollikan dalam Wafayatul A’yan (3/284), adz Dzahaby dalam Siyar A’lamin Nubala’ (15/89), Ibn Kholdun (hal. 853), Hal yang sama juga disebutkan dalam Tarikh Baghdad karya al Baghdady, Thobaqotus Syafiiyyah karya as Subki, Thoboqotus Syafiiyyah karya Ibn Qodli Syuhbah, Thoboqotus Syafiiyyah karya al Isnawi, Syadzarotudz Dzahab karya Ibnul Imad, al Kamil fit Tarikh karya Ibnul Atsir, Tartibul Madarik karya Qodli Iyadl, ad Dibajul Mudzahhab karya Ibnu Farhun dan Mir-atul Janan karya al Yafii.
Kedua : murid murid Imam Abul Hasan al Asy’ari seperti al Baqillani, Ibnu Faurok, al Qoffal asy Syasyi, Abu Ishaq asy Syairozi dan Abu Bakr al Bayhaqi dalam karya karya mereka tak pernah menyebut 3 fase, namun hanya 2 fase. Seandainya ada 3 fase maka semestinya murid Imam al Asy’ari akan menceritakan hal tersebut.
Jadi dari mana sumber isu 3 fase ini ?
Sumbernya adalah dari pembacaan terhadap kitab al Ibanah an Ushulid Diyanah yang dianggap karya terakhir al Asy’ari. Dalam karya ini al Asy’ari menempuh metode salaf dalam memaknai ayat mutasyabihat, yakni dengan tafwidl (memasrahkan makna kata kepada Allah. Cara ini misalnya dipakai oleh penulis Tafsir Jalalain dalam memaknai huruf muqottho’at seperti alif laam miim dan sebagainya).
Dalam hal ini perlu kita lihat apakah Imam al Asy’ari dalam kitab al Ibanah bertentangan dengan madzhab Ibnu Kullab, al Karobisi, al Harits al Muhasiby dan lainnya ? Dalam hal ini kita juga perlu mengenal siapakah Abdullah ibn Said Ibn Kullab yang dituduh kelompok wahhabi sebagai bukan ahlus sunnah.
Hal ini akan dibahas pada status berikutnya. In-syaalLoh.
(sebagian besar didasarkan pada Risalah Syubhatul Athwarits Tsalatsah karya Fawzi al Anjazy)

Tentang Taqwa

Sungguh Alloh maha pemurah, satu amal dari hamba yang dihaturkan kepadaNYA, bukan hanya satu balasan dariNYA, akan tetapi berbagai macam balasan seperti tertuang dalam surat ath-tholaq.
Barang siapa bertaqwa kepada ALLOH:
Maka DIA jadikan untuknya jalan keluar.
Maka DIA memberikan rizqi kepadanya dari sesuatu yang tidak disangka-sangkanya.
Maka DIA akan melebur kejelekan-kejelekan darinya.
Maka DIA akan memberi pahala yang besar untuknya.
جعلنا الله من المتقين

Biografi KH. Abdul Adzim Oerip_ulama waliyullah sidogiri

KH. Abdul Adzim Oerip (+1879-1959): Ulama-waliyullah Sidogiri yang takut Mengkhianati Mazhab Syafi'i, mazhab-nya Islam Nusantara
Kiai Haji Abdul Adzim Oerip adalah salah seorang pengasuh Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.Ulama waliyullah ini adalah pemimpin dan pengayom yang siap berkorban untuk pesantren dan masyarakatnya, terutama di masa-masa sulit penjajahan Belanda hingga masa revolusi kemerdekaan.
Selama mengasuh pesantren, Kiai Abdul Adzim mengajar kitab-kitab kecil, seperti kitab nahwu Mukhtashar Jiddan, kitab Sullam, al-Hikam dan Safinatu-n-Najah. Beliau lebih suka mengajar kitab-kitab kecil tapi bisa diamalkan, daripada kitab-kitab besar tapi tidak diamalkan kaum santri. Selain itu, beliau juga membebaskan para santri untuk memilih kitab-kitab yang diajarkan.
Ulama sederhana dan wara ini pernah dipercaya menentukan arah kiblat Mesjid Jami’ Pasuruangara-gara ada seorang ahli falak dari Bangil yang menyebut arah kiblat mesjid keliru. Masyarakat sekitar Pasuruan sering mendatangi beliau meminta wirid-wirid, amalan-amalan atau bacaan-bacaan untuk kepentingan latihan spiritual atau riyadhah bathiniyah. Di masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, masyarakat juga kerap meminta barakah dari beliau untuk melindungi diri dari berbagai bahaya dan ancaman.
Selain menjalankan usaha jual-beli kuda, Kiai Abdul Adzim juga dikenal sebagai petani dan memiliki sejumlah tanah sawah dan tegalan. Ini untuk memenuhi kebutuhan hidup beliau, keluarga dan pesantren. Dalam bercocok-tanam atau berkebun sang kiai menghindari penggunaan pupuk kimiawi. Sebagai pengantinya beliau menebar gula disekitar tanaman. Hama akan memakan gula itu, dan tidak akan mengganggu tanaman. Dengan cara seperti ini beliau bisa menanam tanaman hingga berbuah dua kali dalam setahun. Beliau juga suka menyayangi binatang.
Selama memimpin pesantren dan melayani masyarakat, Kiai Abdul Adzim lebih mementingkan orang lain dari pada dirinya. Karakter kepemimpinan beliau adalah mengayomi. Beliau tidak segan untuk memukul sendiri bel sekolah atau bedug mesjid. Sikap beliau ini juga terpantul dalam menyikapi penjajahan Belanda.
Berbeda dengan kiai-kiai Sidogiri lainnya yang dikenal keras, bahkan ada yang memimpin pasukan dalam perjuangan revolusi kemerdekaan, Kiai Abdul Adzim lebih bersikap lunak. Meski pesantren menjadi basis para pejuang dan anggota laskar rakyat dan banyak kiai sibuk berjuang untuk Republik, beliau tetap aktif membawakan pengajian kitab. Ini berbeda dengan sikap Kiai Abdul Djalil yang bergabung ke LaskarHizbullah dan menjadi komandan pasukan rakyat itu.
Setelah Kiai Abdul Djalilgugur sebagai pahlawan pada tahun 1947 membela kemerdekaan Republik Indonesia,markas perjuangan Hizbullah pun berpindah dari pesantren ke Desa Merati, Wonorejo, Pasuruan. Pertimbangannya, para pejuang waktu itu mengkhawatirkan nasib Kiai Abdul Adzim kalau basis laskar rakyat masih berada di Pesantren Sidogiri. Kekhawatiran itu punya alasan. Di Merati, tentara Belanda menyerbu markas para pejuang Republik Indonesia dengan kekuatan penuh dan desa itu kemudian rata dengan tanah. Menurut penuturan salah seorang komandan tentara, seandainya markas tentara kita masih berada di Pesantren Sidogiri, niscaya akan diratakan pula dengan tanah.
Walau tidak ikut memimpin laskar rakyat, Kiai Abdul Adzim tetap dicurigai sebagai pemimpin perjuangan rakyat melawan Belanda.
Suatu hari Belanda mengundang para kiai sekitar Pasuruan dalam satu pertemuan – dengan maksud memancing beliau keluar dari pondok. Dalam pertemuan itu, yang datang hanyalah beliau sendiri – demi menjaga para kiai yang tidak datang itu agar tidak menjadi korban kelicikan dan permusuhan tentara Belanda. Kiai waliyullah Sidogiri ini kemudian dipenjara selama beberapa bulan tapi kemudian dilepas. Selama dalam tahanan di Gading Kraton kota Pasuruan, Kiai Abdul Adzim menggelar pengajian seakan para tahanan itu adalah santri beliau.

Kiai Abdul Adzim tetap konsisten shalat berjamaah hingga akhir hayatnya – meski sedang sakit keras jelang ajal. Beliau pernah diingatkan untuk tidak usah berwudhu dengan mengikuti Mazhab Maliki. Namun beliau tetap bertahan: “Ojo! Tetep ae aku melo’ Imam Syafi’i. Mbesu’ hisabane ce’ gellis. Le’ melo’ imam macem-macem, hisab melo’ imam iki, imam iko, suwe. Le’ melo’ imam siji enak, gellis hisabane(Tidak! Saya tetap ikut Imam asy-Syafi’i. Agar di Hari Kiamat nanti hisabnya bisa berlangsung cepat. Kalau ikut imam yang macam-macam, hisabnya nanti harus ikut imam ini, lalu ikut imam itu, sehingga hisabnya lama. Tapi kalau hanya ikut satu imam, hisabnya lebih cepat)