TENTANG KHILAFAH : PERTANYAAN DAN JAWABAN
Apa yang dimaksud khilafah ?
Khilafah berasal dari kata
kholafa yakhlufu khilafatan, yang bermakna mengganti. Jadi khilafah adalah pengganti Rasulullah, dan orang yang menggantikan sesuatu disebut
kholifah. Itulah mengapa Sayyidina Abu Bakr dipanggil dengan sebutan (pengganti Rasulullah), dan Sayyidina Umar dipanggil dengan
Kholifatu kholifati Rosulillah (pengganti kholifahnya Rasululullah), namun kemudian beliau mengganti sebuatn tersebut dengan
Amirul Mu’minin
(pemimpin kaum muslimin), yang kemudian dipakai oleh kholifah setelah
beliau. Istilah yang mirip dengan khilafah adalah imamah, dan kholifah
disebut sebagai imam.
Bagaimana hukum mengangkat kholifah ?
Mengangkat kholifah dalam arti pemimpin masyarakat yang mengatur urusan kaum muslimin (
ulu-l amri) adalah wajib hukumnya, berdasarkan akal dan
naql
(dalil Qur’an dan Hadits). Dalil akal : kalau tidak ada pemimpin maka
masyarakat akan kacau balau. Dalil naql , Allah SWT berfirman yang
artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian pada Allah, taatlah kalian pada Rasul dan ulil amri di antara kalian. Hanya
saja, kholifah secara esensial tidak harus bernama kholifah, namun bisa
juga diberi nama presiden (seperti di Indonesia dan Mesir), perdana
menteri (seperti di Turki dan Malaysia) atau raja (seperti di Saudi,
Yordania dan Maroko)
Apakah ummat Islam sedunia harus di bawah pimpinan satu orang kholifah ?
Mengenai hal ini ada 2 pendapat :
- Pendapat
yang mengatakan wajib, seperti dipegang oleh Imam an Nawawi dan bahkan
beliau menukil adanya ijma’ tentang hal ini. Pendapat ini dipegang juga
oleh kelompok Hizbut Tahrir dengan ideolognya Taqiyuddin an Nabhani.
- Pendapat
yang mengatakan tidak wajib, seperti dipegang oleh Imamul Haromain al
Juwaini (guru Imam al Ghozali), Abul Hasan al Asy’ari, Abu Ishaq al
Isfaroyini dan ulama’ulama’ Malikiyyah seperti Imam al Qurthubi dan Imam
asy Syaukani. Pendapat inilah yang sepertinya dipegang oleh mayoritas
ummat Islam saat ini, termasuk oleh NU dan Muhammadiyah.
Hal
ini didasarkan kenyataan bahwa ummat Islam terpencar dalam wilayah yang
sangat luas, sehingga menyatukannya dalam satu kepemimpinan adalah
tidak mungkin. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa sejak Bani Umayyah
runtuh oleh pemberontakan Bani Abbas pada tahun 750 M (132 H) hingga
saat ini, ummat Islam tidak lagi berada dalam satu kepemimpinan (yakni
terbagi 2 : Bani Abbas di Baghdad dan Bani Umayyah II di
Spanyol/Andalusia).
Apakah yang dimaksud khilafah Islamiyyah ?
Ada banyak penafsiran tentang khilafah Islamiyah. Namun menurut saya secara mudah khilafah Islamiyah bisa disebut sebagai
pemerintahan Islami (bentuk susunan kalimatnya taushify, jadi khilafah adalah
man’ut dan islamiyyah adalah
na’at)
dan bukan pemerintahan Islam (yang kalau diterjemah dalam bahasa arab
menjadi Khilafat-ul Islam). Jika satu pemerintahan bertindak adil,
menaungi kebenaran dan memerangi kebathilan, maka ini adalah satu unsur
dari pemerintahan yang Islami. Mencari khilafah Islamiyyah yang sempurna
(dalam arti semua unsur ajaran Islam dilaksanakan secara paripurna,
baik aqidah, syariah, maupun akhlaq) sepertinya tidaklah mungkin,
kecuali mungkin di masa Nabi dan Khulafa’ Rosyidun. Jadi, yang bisa kita
katakan : semakin banyak unsur ajaran Islam dilaksanakan dalam satu
pemerintahan, semakin dia mendekati khilafah yang Islamiyyah. Jadi
khilafah Islamiyyah adalah sebuah proses, dan bukan sebuah hasil akhir
yang akan terjadi bila telah terpilih seorang kholifah.
Bagaimana syarat-syarat untuk bisa menjadi kholifah ?
Ada
banyak pendapat ulama’ tentang syarat imamah (menjadi kholifah),
artinya tidak ada pendapat yang seragam dalam kalangan ahli fiqh. Imam
al Mawardy dalam kitab al Ahkamus Sulthoniyyah misalnya menyebutkan
beberapa syarat yang harus dipenuhi kholifah seperti laki-laki, sehat
jasmani rohani dan sebagainya
Bagaimana dengan hadits fuu bil bay’at-il awwal (tepatilah bay’at pertama) ?
Menafsirkan hadits ini harus hati-hati, karena mengandung beberapa musykilat (problematika) antara lain :
a)
apa yang dimaksud dengan bay’at pertama ? Apakah bay’at yang dilakukan pertama kali oleh sekelompok orang tertentu, walaupun ia mungkin tidak berhak memilih sebagai
ahl-ul hall-i wa-l aqd-i seperti
bay’atnya kelompok pemberontak pada Sayyidina Ali yang oleh beliau
kemudian ditolak, dengan menyatakan bahwa dalam urusan ini yang berhak
adalah para
ahli badr ? (Harap diingat, bahwa definisi dan syarat-syarat
ahl-ul hall-i wa-l aqd-i
bukanlah sesuatu yang dipahami dan disepakati oleh seluruh ummat
Islam). Atau, seperti pertanyaan Imam asy Syaukani, bagaimana mungkin
orang Indonesia akan membay’at orang Saudi Arabia misalnya, padahal
tempat mereka berjauhan dan tidak saling mengenal satu sama lain?.
Menurut asy Syaukani, orang yang mengusulkan ini ia sebut sebagai
kurang rasional dan tidak logis.
b)
bagaimana jika yang dibay’at pertama kali adalah orang yang tidak berhak menjadi khalifah,
seperti Yazid bin Mu’awiyah karena Mu’awiyah berjanji pada Sayyidina
Hasan akan menyerahkan urusan penggantinya pada kaum muslimin namun
ternyata beliau mengangkat anaknya sebagai kholifah;
c)
bagaimana jika pemilik bay’at pertama telah kalah dalam pertempuran pemberontakan, sehingga secara
de facto sebenarnya ia telah tidak memiliki kuasa walaupun secara
de jure
(hukum formal) mungkin masih disebut kholifah, seperti kasus
pemberontakan Bani Abbas terhadap Bani Umayyah, dan banyak lagi
pergantian kekuasaan yang melewati jalur pemberontakan ? Apakah kemudian
Bani Abbas dinyatakan tidak sah, atau mereka akan dinyatakan sebagai
penguasa yang sah karena secara
de facto telah berkuasa (atau yang lazim disebut dalam ilmu fiqh sebagai
waliyy-ul amr-idl dlorury bi-sy syawkah yang oleh orang NU pernah disematkan pada Bung Karno pada masa Demokrasi Terpimpin).
BAGAIMANA CARA SUKSESI DALAM FIQH ?
Dalam
hal suksesi (pergantian kekuasaan) sebenarnya tak ada prosedur yang
didasarkan nash yang pasti (qoth’i) dalam qur’an dan hadits. Namun,
berdasar praktek sejarah Islam (dan kemudian dijadikan dasar fiqh) ada 3
cara :
pemilihan (baik langsung seperti pada pemilihan
Sy. Abu Bakr di Saqifah Bani Saidah dan Sy. Ali dalam kondisi kacau,
maupun tidak langsung seperti pemilihan Sy. Utsman oleh tim 6 bentukan
Sy. Umar),
dengan penunjukan (seperti pemilihan Sy.
Umar oleh Sy. Abu Bakr. Cara ini yang paling banyak dipakai dalam
kerajaan Islam sejak Bani Umayyah hingga Saudi saat ini) maupun dengan
perebutan kekuasaan
(bisy syawkah) seperti dalam pendirian Bani Abbas, Bani Fathimiyyah,
Bani Umayyah Spanyol dan sebagainya. Jadi, tak ada metode suksesi yang
paten dalam ajaran Islam.
Apakah khilafah Islamiyah adalah solusi bagi masalah ummat Islam saat ini ?
Kholifah
pada dasarnya adalah institusi politik, seperti presiden atau raja,
hanya saja menggunakan istilah bahasa Arab. Karena itu, sejarah
membuktikan ada kholifah yang baik dan ada pula yang tidak baik,
sebagaimana ada presiden dan raja yang baik dan ada pula yang tidak
baik.
Ada kholifah bernama Yazid bin Muawiyah yang menggantikan
ayahnya. Ia hanya berkuasa selama 3 tahun (60 – 63 H.) namun dalam
pemerintahannya terjadi tiga peristiwa yang termasuk paling buruk dalam
sejarah Islam (pembunuhan Sayyidina Husain cucu Rasulullah dan
keluarganya di Karbala, peristiwa Harroh (penghalalan pembunuhan,
perampokan dan kejahatan selama 3 hari di Madinah), dan penyerangan
terhadap Ka’bah di Makkah. Kholifah Abdul Malik bin Marwan dalam sejarah
adalah kholifah besar dari Bani Umayyah. Namun dia memiliki panglima
perang yang kejam yaitu al Hajjaj bin Yusuf yang terkenal membunuh
banyak ummat Islam, termasuk di antaranya adalah ulama’ besar Said bin
Jubair murid Ibn Abbas.
Disamping itu, ada juga kholifah yang baik
dan adil. Sejarah mencatat nama Khulafa’ Rosyidun yang empat sebagai
orang-orang yang baik dalam memegang amanah. Juga Umar ibn Abdil aziz,
Harun ar Rasyid dan al Ma’mun yang membangun peradaban Islam [walaupun
al Ma’mun pula yang memulai
mihnah kholqil Qur’an (inkuisisi
atas dasar isu penciptaan Qur’an) yang menyebabkan banyak ulama’ sunni
ditahan, termasuk di antaranya Imam Ahmad bin Hanbal], Abdurrahman an
Nashir di Andalusia dan sebagainya.
Jadi,
pelaksanaan
sistem khilafah atau kholifah ada yang baik dan ada yang buruk yang
sangat tergantung pada siapa yang menduduki jabatan tersebut.
Mereka yang membaca kitab seperti Tarikh-ul Khulafa’ karya as Suyuthi
tahu persis hal ini. Patut dicatat, bahwa dalam sejarah Islam kekuasaan
kholifah sangat kuat (powerful) sehingga jika dipegang oleh orang baik
maka bisa sangat baik, namun jika dipegang oleh orang yang tidak baik
akan menjadi sangat tidak baik. Dalam sejarah Islam juga tercatat bahwa
hampir semua pemilihan kholifah adalah berdasar penunjukan oleh kholifah
sebelumnya, sehingga dapat memungkinkan terjadinya politik dinasti yang
tidak pasti membawa kebaikan pada ummat Islam. Sebagai catatan, hingga
saat ini politik dinasti ini masih berlangsung di sebagian besar negara
Arab seperti di Arab Saudi, Yordania, Maroko, Syiria, Kuwait dan
sebagainya.
Apakah demokrasi adalah sistem yang BERTENTANGAN DENGAN islam ?
Sangat
tergantung pada pemahaman kita tentang apa itu demokrasi. Kalau kita
mengartikan demokrasi sebagai kebebasan yang tanpa batas (dan itu tak
mungkin terjadi), maka demokrasi itu jelek. Kalau kita mengartikan
demokrasi adalah kekuasaan rakyat di atas kekuasaan Tuhan (dalam arti
atas nama rakyat bisa berbuat sewenang-wenang terhadap agama seperti
terjadi di Swiss dalam bentuk pelarangan menara masjid berdasar hasil
referendum, pelarangan jilbab di Prancis dan Turki) maka ia jelek
adanya. Tapi kalau kita melihat demokrasi sebagai mekanisme pengambilan
keputusan dari rakyat, oleh rakyat dan terutama untuk rakyat, maka hal
ini baik adanya.
Ada dua cara untuk meninjau demokrasi.
Yang pertama secara filosofis,
dan ini yang biasa dipakai oleh penentang demokrasi. Alasan menentang
demokrasi adalah karena kekuasaan rakyat dianggap akan menafikan
kekuasaan Tuhan dalam arti hukum Allah akan bisa digeser oleh hukum
manusia. Dalam hal ini patut ditegaskan dua hal : a) kekuasaan Allah
tidak akan berkurang oleh kekuasaan manusia, karena Allah SWT adalah
pemilik dan pencipta alam semesta; b) penggeseran hukum Allah dengan
hukum manusia juga bisa berlangsung dalam sistem khilafah, sebagaimana
sejarah telah membuktikannya. Hal ini karena pelaksanaan hukum Islam
sekalipun harus dilaksanakan oleh manusia, sehingga pelanggaran terhadap
hukum Islam bisa saja dilakukan oleh penguasa dengan gelar kholifah
sekalipun. Kenyataan semacam inilah yang membuat tokoh pemikir sekelas
Abul A’la Maududi yang pada awalnya mengusulkan teokrasi (kekuasaan
Tuhan) sebagai pengganti demokrasi, akhirnya harus berkompromi dengan
membuat konsep teodemokrasi (kekuasaan Tuhan dan rakyat, atau mungkin
dimaknai kekuasaan rakyat dengan dasar ketuhanan).
Yang kedua tinjauan praktis
yang hanya memahami demokrasi sebagai metode pengambilan keputusan
dengan melibatkan rakyat. Misalnya, presiden dipilih oleh rakyat, DPR
dipilih rakyat dan lain sebagainya. Keputusan yang dihasilkan oleh
mekanisme ini sangat tergantung pada pemikiran yang ada di kalangan
rakyat. Jika rakyatnya baik, maka insyaalLah yang terpilih adalah
orang-orang baik. Dalam mekanisme semacam ini, hukum Islam bisa
berkembang tanpa merubah sistem secara keseluruhan secara frontal
(karena hal seperti itu seringkali mengalami kegagalan). Dalam sejarah
Indonesia, masuknya UU Perkawinan Islam merupakan salah satu bukti bahwa
demokrasi bisa berpihak pada hukum Islam jika rakyat (dalam arti
wakil-wakilnya) mau mendukung. Jika mereka tidak mendukung, maka
walaupun UU yang ada telah berdasar hukum Islam, namun dalam
pelaksanaannya hampir bisa dipastikan akan mengalami kegagalan. Dalam
pemahaman kedua inilah demokrasi tidak mesti bertentangan dengan Islam
bahkan bisa saja kompatibel (sejalan) dengan Islam jika memang rakyatnya
telah memahami keagungan ajaran Islam.
Perlu diketahui, ada dua jenis demokrasi :
a)
Demokrasi prosedural : yakni pengambilan keputusan dari rakyat dan oleh
rakyat. Bentuk prosedur demokrasi yang paling jelas dalam hal ini
adalah Pemilu (satu hal yang sebenarnya tidak dilarang dalam hukum
Islam)
b) Demokrasi Substansial : pengambilan keputusan untuk
rakyat. Dalam pengertian ini, kita bisa mengatakan bahwa 4 kholifah
adalah demokrat, dalam arti kebijakan mereka sangat memerhatikan
kepentingan rakyat. Ini tentu saja tidak bertentangan dengan ajaran
Islam, karena kaidah fiqh yang terkenal mengatakan :
tashorruful imam alar ro’iyyah manuthun bil mashlahah (kebijaksanaan pemimpin atas rakyatnya tergantung pada maslahah).
Jadi,
demokrasi sebagaimana khilafah, sangat tergantung pada siapa yang
memegang kekuasaan karena hukum Islam sekalipun bisa disalahgunakan
untuk kepentingan pribadi penguasa sebagaimana terjadi dalam sejarah
kaum muslimin. Firman Allah SWT yang artinya :
Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta di antara
kalian dengan bathil, kemudian kamu bawa kasusnya kepada hakim-hakim
supaya kalian bisa memakan harta manusia dengan berdosa sedangkan kalian
mengetahui (QS. Al Baqoroh :
Perlukah memperjuangkan hukum Islam dalam negara ?
Perlu,
karena sepanjang yang saya ketahui tidak ada hukum yang lebih sempurna
dari hukum Islam. Hanya saja harus dipahami 3 hal :
a) hukum
Islam mencakup ranah yang sangat luas, mulai dari ibadah, muamalah,
munakahah, jinayah dan sebagainya. Hukum Islam juga mencakup
madzhab-madzhab dengan beragam pendapatnya. Memasukkannya dalam hukum
negara memerlukan pemikiran yang matang dari ummat Islam sendiri.
Pengalaman yang ada terkadang adalah madzhab yang dipegang penguasa yang
kemudian dijadikan alat penekan kelompok yang lain atas nama Islam,
sebagaimana terjadi di masa al Ma’mun yang bermadzhab Mu’tazilah yang
menekan kelompok Sunni dalam urusan
kholqul Qur’an (apakah al
Qur’an makhluq atau bukan), pemerintah Saudi yang mencap ulama’ yang
melakukan maulid Nabi sebagai ahli bid’ah yang terkadang diusir dari
Saudi (seperti kasus yang terjadi pada Habib Zain bin Sumaith),
pemerintah Iran yang menekan muslim Sunni dan sebagainya. Dalam konteks
ini, bisa dipahami usulan sebagian kelompok yang ingin menjadikan Islam
sebagai inspirasi dan bukan aspirasi, karena dalam konteks hukum ada
banyak madzhab yang berkembang dalam sejarah hukum Islam sehingga
memilih pendapat mana yang kompatibel untuk suatu tempat tentu saja
bukan hal yang mudah, dan memerlukan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif)
dari pihak-pihak yang berkompeten. Atau bisa saja kita memakai sistem
yang diusulkan Hasan al Banna : bekerjasama dalam hal-hal yang kita
sepakati, dan saling menghormati dalam hal-hal yang kita berbeda.
b)
Masuknya hukum Islam dalam hukum sebuah negara tidak dengan serta merta
menyelesaikan permasalahan ummat, karena masih tersisa masalah
penegakan hukum tersebut dan hal ini akan melibatkan faktor manusia
(penegak hukum) yang menegakkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah yang
artinya :
“Sesungguhnya yang menghancurkan ummat sebelum kalian
adalah jika ada orang kuat mencuri dibiarkan, dan jika ada orang lemah
mencuri maka ditegakkanlah hukum”. Dalam hal ini patut direnungkan kata-kata yang dikutip Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah :
“Sesungguhnya
Allah akan menegakkan negara yang adil walaupun penduduknya kafir, dan
tidak akan menegakkan negara yang dholim walaupun penduduknya muslim”.
قال شيخ الاسلام ابن تيميةرحمه الله
(ولهذا يروى ( الله ينصر الدولة العادلة وان كانت كافرة ( ولا ينصر الدولة الظالمة وان كانت مؤمنة
مجموع الفتاوى
28/63
في
مأثورة لشيخ الإسلام ابن تيميه يقول: “إن الناس لم يتنازعوا في أن عاقبة
الظلم وخيمة، وعاقبة العدل كريمة ولهذا يروى، إن الله ينصر الدولة العادلة
وإن كانت كافرة ولا ينصر الدولة الظالمة وإن كانت مؤمنة”.
وما
أدري من أين أتى بتلك "يروى" فقد بحثت في بضع مئات من كتب السنة وحتى
الشيعة وكتب الحكماء فما وجدتها ولربما يتحفنا أحد الإخوة بمكانها
والله الملهم للصواب
c)
Sering sekali kekuasaan merusak agama, dengan menjadikan agama sebagai
faktor pembenar kedholiman sebagaimana dilansir oleh Jamal al Banna
(adik kandung Hasan al Banna). Artinya, agama hanya dijadikan alat
kekuasaan. Karena itu, mungkin perlu direnungkan pemikiran para kyai
kita yang sering lebih mengutamakan perubahan watak manusia yang
mengendalikan sistem dengan perbaikan akhlaq, daripada perubahan sistem
yang terkadang hanya menjadikan agama sebagai alat kekuasaan.