Jumat, 28 November 2014

TA'AWUDZ DALAM SHALAT ATAU SELAINNYA

TA'AWUDZ DALAM SHALAT ATAU SELAINNYA

Kesunahan Membaca Ta’awudz, Setelah Doa Istiftah, sebelum membaca Surah Al Fatihah. Baca juga lafa niat dalam shalat, insyaAllah akan diteruskan dengan pengajian tentang shalat secara kaffah:
Perlu diketahui, bahwa keterangan ini secara keseluruhan diambil dari Al Adzkar Imam Nawawi (631-676H).

Perlu diketahui, telah menjadi kesepakatan para Ulama bahwa membaca ta’awudz setelah membaca doa istiftah hukumnya sunah. yaitu dilakukan sebelum membaca Al-Qur’an. Hal ini berdasarkan firman Alloh Swt, Q.S An-Nahl, ayat: 98

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Apabila kamu membaca Al-Quran, hendaknya kamu memmohon perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (Q.S An-Nahl: 98)

Menurut Jumhurul ulama’ Ayat diatas maknanya, jika kami menghendaki membaca Al-Qur’an, maka terlebih dahulu membaca ta’awudz.
Perlu diketahui, bacaan ta’awudz yang terpilih, adalah A’údzubil lahi minasy syaithanir rajiim, ada juga yang mengatakan A’údzubil lahis samii’il ‘aliim, minasy syaithanir rajiim. Kedua kalimat diatas shahih, akan tetapi yang masyhur berdasarkan pendapat yang mukhtar adalah yang pertama.
Telah kami riwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Al-Baihaqi dan lainnya, sungguh sebelum Nabi Saw membaca Al-Qur’an sebelum dalam shalat, beliau membaca:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، مِنْ نَفْخِهِ وَنَفْثِهِ وهَمْزِهِ
A’údzubil lahi minasy syaithanir rajiimو min nafkhiḫi wa naftsihi wa hamzihi
Aku berlindung kepada Alloh dari godaan setan yang terkutuk, dari tiupan dan bisikannya.

Dalam redaksi riwayat lain dengan menggunakan lafadz:
أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ، مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيْمِ، مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
A’údzubil lahis samii’il aliim minasy syaithanir rajiim min nafkhihi wa naftsihi wa hamzihi
Aku berlindung kepada Alloh, Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk, dari tiupan dan bisikannya.

Dalam penafsiran hadits diatas, hamzihi, adalah penyakit gila, nafkhihi adalah: sifat sombong, dan naftsihi adalah sair-sair yang buruk. Wallaahu a’lam..

Perlu diketahui, bahwa membaca ta’awudz hukumnya sunah, bukan wajib. Jika meninggalkannya maka tidak berdosa dan tidak batal shalatnya, baik meninggalkannya dengan sengaja atau karena lupa dan tidak melakukan sujud syahwi bagi yang meninggalkannya. Membaca ta’awudz disunahkan pada semua shalat, baik shalat fardlu atau semua shalat sunah, begitu juga pada shalat janazah. Hal ini berdasarkan pendapat yang shahih. Berdasarkan kesepakatan Ulama disunahkan juga bagi orang yang membaca Al-Qur’an diluar waktu shalat.
Perlu diketahui, berdasarkan kesepakatan Ulama membaca ta’awudz disunahkan pada rakaat pertama, jika meninggalkannya pada rakaat pertama, maka membaca ta’awudz pada rakaat ke-dua, dan jika tidak membaca ta’awudz pada rakaat ke-dua maka membacanya pada rakaat setelahnya dan seterusnya. Kemudian jika telah membaca ta’awudz pada rakaat pertama, apakah disunahkan juga pada rakaat kedua? Dalam hal ini dalam pandangan Ulama Syafi’iyah ada dua pendapat, sedangkan pendapat yang ashah adalah tetap disunahkan, akan tetapi lebih ditekankan pada raka’at yang pertama.
Jika membaca ta’awudz pada shalat yang dibaca pelan, maka bacaan ta’awudz juga dibaca pelan. Kemudian jika pada shalat yang dibaca keras, apakah ta’awudz dibaca dengan keras juga? Dalam hal ini para Ulama berbeda pendapat. Sebagian Ulama Syafi’iyah mengatakan bacaan ta’awudz dibaca pelan, sedangkan menurut jumhurul ulama (kebanyakan ulama) pendapat Imam Syafi’i ada dua pendapat dalam kesunahannya, hukumnya sama antara dibaca pelan dan keras, hal ini berdasarkan ketetapan beliau dalam kitab Al-Umm, sedangkan pendapat yang kedua dibaca dibaca keras, hal ini berdasarkan ketetapan beliau dalam kitab Al-Imla’.

Sebagian ulama Syafi’iyah ada yang mengatakan, ta’awudz dibaca keras, pendapat ini dibenarkan oleh As-Syaikh Hamid Al-Asfarayiny, salah satu imam dari kalangan Syafi’iyah yang berasal dari negara Irak dan sahabatnya yang bernama Al-Mahamily, hal ini berdasarkan apa yang dilakukan oleh Abu Hurairah Ra. Ibnu Umar dalam membaca ta’awudz, beliau membacanya dengan pelan. Pendapat ini adalah pendapat yang ashah menurut kebanyakan Ulama Syafi’iyah, yaitu pendapat yang mukhtar (terpilih). Wallahu a’lam

1 komentar: