Kebenaran Riwayat Tabarruk Imam Syafi’i Dengan Bekas Cucian Gamis Imam Ahmad
Di antara sekian banyak hal yang Allah jadikan sebab bagi seseorang untuk memperoleh barakah dari-Nya adalah bertabarruk dengan para Nabi, para wali, dan dengan para ulama yang mengamalkan ilmu-ilmunya (al-‘Ulama al-Amilin), serta dengan orang-orang saleh. Allah berfirman mengenai ucapan nabi Yusuf:
اذْهَبُوا بِقَمِيصِي هَذَا فَأَلْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِي يَأْتِ بَصِيرًا (يوسف: 93
“Pergilah kalian dengan membawa gamisku ini, lalu letakkanlah ke wajah ayahku, maka ia akan dapat melihat kembali”. (QS. Yusuf: 93)
1476762_10201216862329647_2027 166840_n
Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa Nabi Ya’qub bertabarruk dengan gamis Nabi yusuf. Nabi Ya’qub mencium dan menyentuhkan gamis tersebut ke matanya, sehingga beliau bisa melihat kembali. Ini merupakan dalil paling nyata bolehnya bertabarruk dengan orang shalih melalui segala apa yang berhubungan dengannya semisla gamis atau lainnya. Ajaran haq ini terus dilakukan oleh kaum muslimin dari masa Nabi, sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga masa kita sekarang ini. Hal ini juga pernah dicontohkan oleh imam Syafi’i rahimahullah terhadap gamis imam Ahmad bin Hanbal rahiumahullah.
Berikut riwayat imam Syafi’i bertabarruk dengan bekas cucian gamis imam Ahmad bin Hanbal :
Ibnu Jawzi menuturkan sebuah kisah : “bahwa pada suatau malam, Imam Syafi’i bermimpi bertemu Rasulullah saw. dan memerintahnya agar menyampaikan salam beliau kepada Imam Ahmad ibn Hanbal.
Kesokan harinya, Imam Syafi’i memerintahkan Rabî’- murid beliau- agar membawakan surat menemui Imam Ahmad ibn Hanbal. Rabî’ bergegas pergi menuju kota Baghdad dan menyerahkan surat tersebut, setelah membacanya, Ahmad meneteskan air mata. Rabi’ bertanya kepadanya, ‘Ada apa di dalamnya wahai Abu Abdillah?’ Ahmad menjawab ‘Beliau menyebut bahwa beliau melihat nabi dalam mimpi dan berkata kepadanya, ’Tulislah surat kepada Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal dan sampaikan salamku kepadanya! Dan katakan, ‘Engkau akan diuji dan dipaksa mengatakan bahwa Alquran itu makhluq, maka jangan engka turuti permintaan mereka, Allah akan meninggikan derajatmu sebagai panutan di setiap masa hingga hari kiamat. Rabi berkata, “Aku berkata, ‘Ini kabar gembira.’ Lalu Ahmad melepas baju dalamnya yang menyentuh badannya dan menyerahkannya kepadaku, aku mengambilnya dan akupun pulang menuju negeri Mesir bersama surat jawaban Ahmad. Setelah aku serahkan kepadanya, ia bertanya, ‘Apa yang ia berikan kepadamu?’ Aku menjawab, ‘baju gamis yang langsung menyentuh badannya’ Syafi’i berkata kepadaku, ‘Aku tidak ingin merampasnya darimu, tapi basahi dia dan serahkan kepadaku sisa air cuciannya agar aku juga dapat mendapat berkah sepertimu. Maka, kata rabi’, ‘Aku mencucuinya, dan aku bawakan sisa air cuciannya kepadanya aku telakkan di botol, aku menyaksikan beliau setiap hari mengambil sedikit air darinya dan mengusapkannya ke wajah beliau, untuk mengambil keberkahan dari Ahmad ibn Hanbal.[1]
Abul Jauza mengatakan :
Kisah ini tidak shahih, dimana ia dibawakan dalam beberapa sanad dalam sebagian kitab para ulama.
Sanad Pertama
Diriwayatkan oleh Ibnul-Jauziy dan Ibnu ‘Asaakir dari jalan Abu ‘Abdirrahman Muhammad bin Al-Husain : Aku mendengar Muhammad bin ‘Abdillah bin Syaadzaan : Aku mendengar Abul-Qaasim bin Shadaqah : Aku mendengar ‘Aliy bin ‘Abdil-‘Aziiz Ath-Thalhiy : Ar-Rabi’ telah berkata kepadaku bahwasannya Asy-Syafi’iy pergi menuju Mesir…. (dst. dari kisah ini).
Taarikh Dimasyq 5/312, Manaaqib Al-Imam Ahmad oleh Ibnul-Jauziy hal. 609 – dan dari jalan Ibnul-Jauziy, Al-Maqdisiy meriwayatkannya dalam Mihnatul-Imam Ahmad hal. 7.
Dalam sanad ini terdapat rawi yang bernama Muhammad bin Al-Husain Abu ‘Abdirrahman As-Sulamiy. Tertuduh memalsukan hadits. Dan perawi yang di atasnya ada yang tidak diketemukan biografinya.
Tertulis dalam Lisaanul-Miizaan (7/92 no. 6695 – tahqiq : ‘Abdul-Fattaah Abu Ghuddah, Cet. 1/Thn. 1423) saat menyebutkan biografi Muhammad bin Al-Husain Abu ‘Abdirrahman As-Sulamiy :
قال الخطيب قال لي محمد بن يوسف القطان كان يضع الأحاديث للصوفية
“Al-Khathiib berkata : Telah berkata kepadaku Muhammad bin Yusuf Al-Qaththaan : “Ia memalsukan beberapa hadits untuk shufiyyah” [selesai].
Bahkan Ibnul-Jauziy yang membawakan kisah ini pun memberikan jarh kepada Muhammad bin Al-Husain ini dengan perkataannya :
محمد بن الحسين أبو عبد الرحمن السلمي الصوفي حدث عن الأصم وغيره قال أبو بكر الخطيب قال لي محمد بن يوسف القطان كان السلمي غير ثقة وكان يضع للصوفية الأحاديث
“Muhammad bin Al-Husain Abu ‘Abdirrahman As-Sulamiy Ash-Shuufiy, menceritakan hadits dari Al-Asham dan yang lainnya. Telah berkata Abu Bakr Al-Khathiib : Telah berkata kepadaku Muhammad bin Yusuf Al-Qaththaan : “As-Sulamiy bukan seorang yang terpercaya (tsiqah), dan ia memalsukan beberapa hadits untuk Shufiyyah” [Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin oleh Ibnul-Jauziy, 3/52-53 no. 2952, tahqiq : Abul-Fidaa’ ‘Abdullah Al-Qaadliy, Daarul-Kutub].
Sanad Kedua
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir dalam Taarikh Dimasyq (5/312 – tahqiq : ‘Umar bin Gharamah Al-‘Amrawiy, Daarul-Fikr, Cet. Thn. 1415) : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Jabbaar bin Muhammad bin Ahmad Al-Hawaariy Al-baihaqiy Al-Faqiih – dengan didikte di Baghdad – : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Imam Abu Sa’iid Al-Qusyairiy dengan didikte, dan ia adalah ‘Abdul-Waahid bin ‘Abdil-Kariim : Telah memberitakan kepada kami Al-Haakim Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad Ash-Shaffaar : Telah memberitakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf, ia berkata : Aku mendengar Muhammad bin ‘Abdillah Ar-Raaziy, ia berkata : Aku mendengar Ja’far bin Muhammad Al-Maalikiy, ia berkata : Telah berkata Ar-Rabii’ bin Sulaiman : “Sesungguhnya Asy-Syafi’iy –rahimahullah - pergi menuju Mesir……(dst. dari kisah ini)”.
Dan dari jalannya (Ibnu ‘Asaakir), As-Subkiy meriwayatkannya dalam Thabaqaat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubraa (2/35).
Terdapat tashhif dalam sanad antara Taariikh Ibnu ‘Asaakir dimana padanya tertulis Ja’far bin Muhammad Al-Maalikiy, sedangkan dalam Ath-Thabaqaat tertulis Abu Ja’far Muhammad Al-Malathiy.
Sanad riwayat ini gelap. Ada beberapa perawi yang tidak diketahui dan tidak diketemukan biografinya – selain dari Ar-Rabii’ bin Sulaiman. Wallaahu a’lam.
Sanad Ketiga
Diriwayatkan oleh Ibnul-Jauziy dalam Manaaqib Al-Imam Ahmad (hal. 610 – tahqiq Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy) : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Naashir : telah memberitakan kepada kami Abu ‘Aliy Al-Hasan bin Ahmad : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibrahim bin ‘Umar Al-Barmakiy, ia berkata : Aku mendapatkan dalam kitab ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Ahmad bin Syaadzaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Isa Yahya bin Sahl Al-‘Ukbariy dengan ijazah (ijin periwayatan). Al-Barmakiy berkata : Dan aku menulis dari jalan Abu Ishaaq bin Syaqlaa – ia datang kepada kami, dan kemudian meminta ijin darinya (untuk meriwayatkan) - mereka berdua berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-Qaasim Hamzah bin Al-Hasan Al-Haasyimiy Asy-Syaafi’iy – ia seorang yang terpercaya – berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr ‘Abdullah bin Muhammad An-Naisaburiy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ar-Rabii’ bin Sulaiman, ia berkata : Ditulis di hadapan Asy-Syaafi’iy sebuah surat untuk Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal…..(dst. dari kisah ini).
Sanad riwayat ini gelap. Ada beberapa perawi yang tidak diketemukan biografinya lagimajhul.
Adz-Dzahabiy berkata dalam biografi Ar-Rabii’ bin Sulaiman Al-Muadzdzin :
ولم يكن صاحب رحلة فأما ما يروى أن الشافعي بعثه إلى بغداد بكتابه إلى أحمد بن حنبل فغير صحيح
“Tidaklah ia pernah menjadi shaahibu rihlah. Adapun apa-apa yang diriwayatkan bahwasannya Asy-Syafi’iy mengutusnya ke Baghdad dengan membawa surat untuk Ahmad bin Hanbal, maka kisah tersebut tidak benar (tidak shahih)” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 12/587-588, Muassasah Ar-Risalah, Cet. 9/1413].
Yang menguatkan pernyataan Adz-Dzahabiy adalah bahwa tidak ada seorang punmuhaddits ‘Iraq yang menukil darinya, bahwa mereka mendengar riwayat dari Ar-Rabii’ di ‘Iraq, padahal mereka adalah golongan yang masyhur dengan tahdiits-nya. Apalagi Al-Khathiib tidak menuliskan biografi Ar-Rabii’ dalam kitabnya Taariikh Baghdaad, padahal kitab tersebut masyhur dalam penyebutan orang-orang yang pernah menjadi penduduk atau singgah di Baghdad. Wallaahu a’lam.
Jawaban saya :
Kisah ini tidak serta merta ditolak mentah-mentah, karena sebagaimana telah disebutkan sendiri oleh Abul Jauza bahwa kisah ini diriwayatkan dengan tiga jalur dan tiga sanad yang berlainan. Walaupun sanad pertama ada perowi yang lemah, maka sanad kedua dan ketiga menutupinya meskipun ada rowinya yang majhul. Karena jahalah rawi adalah kelemahan yang ringan. Dan para ulama telah menerima dan menukil dari masa ke masa dalam kitab-kitab mereka hingga masa kita sekarang ini.
Kisah ini, meskipun salah satu sanadnya ada yang lemah, maka kisah ini statusnya hasan li ghoirihi karena diriwayatkan dengan beberapa jalur yang berbeda-beda. Sebagaimana kaidah hadits bahwasanya Hasan li Ghoirihi adalah :
هو الحديث الضعيف اذا روي من طريق اخرى مثله او اقوى منه
“ Adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat “
هو الضعيف اذا تعددت طرقه ولم يكن سبب ضعفه فسق الراوي او كذبه
“ Adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifannya bukan karena fasik atau dustanya perowi “.
Dari dua definisi di atas dapat dipahami bahwa hadits dhaof bisa naik menjadi hasan li ghoirihi dengan dua syarat, yaitu :
1. Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat. Dalam kasus kisah imam Syafi’i di atas, telah ditemukan dua sanad lainnya yang seimbang atau bahkan lebih kuat karena dhaifnya hanya karena tidka ditemukan salah satu tarjamah perowinya.
2. Sebab kedhaifannya tidak berat, seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hafalan yang kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawinya. Dan pada sanad-sanad lainnya, kelemahannya hanya dari sisi jahalah perawinya, sehingga hal ini dinilai ringan.
Dengan ini, maka kisah tabarruk imam Syafi’i di atas bisa kita katakan kisah yang bernilai hasan li ghoirihi. Karena kesahihan atau kehasanan suatu hadits tidak mesti harus tergantung dengan perawinya akan tetapi bisa juga dari hadits penguat lainnya, sebagaimana dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar :
صحة الحديث وحسنه ليس تابعاً لحال الراوي فقط بل لأمور تنضم إلى ذلك من المتابعات والشواهد ، وعدم الشذوذ والنكارة
“ Kesahihan dan kehasanan hadits tidak hanya mengikuti keadaan perawinya, akan tetapi bisa juga karena perkara-perkara yang terkumpul dari mutaba’at dan syawahidnya dan tidak adanya kejanggalan dan keburukan maknanya “.
Dan perlu Abul jauza ketahui, bahwasanya hujjah kami dalam melegalkan tabarruk dengan bekas-bekas orang shalih bukan hanya kisah imam Syafi’I ini saja, melainkan kami memiliki banyak hujjah dan dalil tentang ini, di antaranya :
Imam Ahmad bin Hanbal pernah bertabarruk dengan jubbah imam Yahya bin Yahya, Ibnu Muflih al-Hanbali bercerita :
قال المروذي في كتاب الورع : «سمعت أبا عبد الله يقول قد كان يحيى بن يحيى أوصى لي بجبته فجاءني بها ابنه فقال لي فقلت رجل صالح قد أطاع الله فيها أتبرك بها
“ Berkata imam al-Marrudzi di kitab al-Wara’nya, “ Aku mendengar Abu Abdillah berkata, “ Yahya bin Yahya pernah berwsiat kepadaku tentang jubbahnya, lalau putranya datang kepadaku dengan membawa jubbah ayahnya itu. Maka dia bertanya padaku dan aku menjawabnya, “ Dia adalah orang sholeh yang telah ta’at kepada Allah, aku bertabarruk dengan jubahnya “.[2]
Imam Nawawi ketika menyebutkan hadits tabarruk dengan jubbah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, setelahnya beliau berkomentar :
وفى هذا الحديث دليل على استحباب التبرك بآثار الصالحين وثيابهم
“ Dan di dalam hadits ini merupakan dalil atas dianjurkannya bertabarruk dengan bekas-bekas orang-orang shalih dan pakaian mereka “.[3]
Al-Hafidz Ibnu Hajar ketika berkomentar setelah menyebutkan suatu hadits :
وفيه استعمال آثار الصالحين ولباس ملابسهم على جهة التبرك والتيمن بها
“ Dan dalam hadits itu merupakan dalil menggunakan bekas-bekas orang shalih dan pakaian mereka dengan cara bertabarruk dengannya “ [4]
عَنْ مَوْلَى أسْمَاءَ بِنْتِ أبِي بَكْر، قَالَ: أخْرَجَتْ إليْنَا جُبّةً طَيَالِسَةً كَسْرَوَانِيّةً لَهَا لَبِنَةُ دِيْبَاجٍ وَفَرْجَاهَا مَكْفُوْفَانِ، وَقَالَتْ: هذِهِ جُبّةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ، فَلَمَّا قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا، وَكَانَ النّبيّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ يَلبِسُهَا فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى نَسْتَشْفِيْ بِهَا، وَفي روَاية: نَغْسِلُهَا للمَرِيْضِ مِنَّا
“ Dari hamba sahaya Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq, bahwa ia berkata: “Asma’ binti Abi Bakar mengeluarkan jubah –dengan motif– thayalisi dan kasrawani (semacam jubah kaisar) berkerah sutera yang kedua lobangnya tertutup. Asma’ berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah. Semula ia berada di tangan ‘Aisyah. Ketika ‘Aisyah wafat maka aku mengambilnya. Dahulu jubah ini dipakai Rasulullah, oleh karenanya kita mencucinya agar diambil berkahnya sebagai obat bagi orang-orang yang sakit”. Dalam riwayat lain: “Kita mencuci (mencelupkan)-nya di air dan air tersebut menjadi obat bagi orang yang sakit di antara kita”. (HR. Muslim : 3/1641)
Al-Imam Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya menuliskan sebagai berikut:
بَابُ ذِكْرِ إِبَاحَةِ التَّـبَرُّكِ بِوَضُوْءِ الصَّالِحِيْنَ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ إِذَا كَانُوْا مُتَّبِعِيْنَ لِسُنَنِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ، عَنْ ابْنِ أَبِيْ جُحَيْفَةَ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ فِيْ قُبَّةٍ حَمْرَاءَ وَرَأَيْتُ بِلاَلاً أَخْرَجَ وَضُوْءَهُ فَرَأَيْتُ النَّاسَ يَبْتَدِرُوْنَ وَضُوْءَهُ يَتَمَسَّحُوْنَ.
“Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”. Dari Ibn Abi Juhaifah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Aku melihat Rasulullah di Qubbah Hamra’, dan aku melihat Bilal mengeluarkan air wudlu Rasulullah, kemudian aku melihat banyak orang memburu bekas air wudlu tersebut, mereka semua mengusap-usap dengannya” .
Dalam teks itu sangat jelas bahwa Ibn Hibban memahami tabarruk sebagai hal yang tidak khusus kepada Rasulullah saja, tetapi juga berlaku kepada al-Ulama al-‘Amilin. Karena itu beliau mencantumkan hadits tentang tabarruk dengan air bekas wudlu Rasulullah di bawah sebuah bab yang beliau namakan: “Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”.
Shofiyyah an-Nuuriyyah
Refrensi:
[1] Manaqib Ahmad ibn Hanbal”: 455 dan “Al Bidayah wa an Nihayah”; Ibnu Katsir,10/331 dari al Baihaqi
[2] Al-Aadab asy-Syar’iyyah, Ibn muflih : 2/235
[3] Syarh Sahih Muslim : 14/44
[4] Fath al-Bari : 10/198
Di antara sekian banyak hal yang Allah jadikan sebab bagi seseorang untuk memperoleh barakah dari-Nya adalah bertabarruk dengan para Nabi, para wali, dan dengan para ulama yang mengamalkan ilmu-ilmunya (al-‘Ulama al-Amilin), serta dengan orang-orang saleh. Allah berfirman mengenai ucapan nabi Yusuf:
اذْهَبُوا بِقَمِيصِي هَذَا فَأَلْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِي يَأْتِ بَصِيرًا (يوسف: 93
“Pergilah kalian dengan membawa gamisku ini, lalu letakkanlah ke wajah ayahku, maka ia akan dapat melihat kembali”. (QS. Yusuf: 93)
1476762_10201216862329647_2027
Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa Nabi Ya’qub bertabarruk dengan gamis Nabi yusuf. Nabi Ya’qub mencium dan menyentuhkan gamis tersebut ke matanya, sehingga beliau bisa melihat kembali. Ini merupakan dalil paling nyata bolehnya bertabarruk dengan orang shalih melalui segala apa yang berhubungan dengannya semisla gamis atau lainnya. Ajaran haq ini terus dilakukan oleh kaum muslimin dari masa Nabi, sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga masa kita sekarang ini. Hal ini juga pernah dicontohkan oleh imam Syafi’i rahimahullah terhadap gamis imam Ahmad bin Hanbal rahiumahullah.
Berikut riwayat imam Syafi’i bertabarruk dengan bekas cucian gamis imam Ahmad bin Hanbal :
Ibnu Jawzi menuturkan sebuah kisah : “bahwa pada suatau malam, Imam Syafi’i bermimpi bertemu Rasulullah saw. dan memerintahnya agar menyampaikan salam beliau kepada Imam Ahmad ibn Hanbal.
Kesokan harinya, Imam Syafi’i memerintahkan Rabî’- murid beliau- agar membawakan surat menemui Imam Ahmad ibn Hanbal. Rabî’ bergegas pergi menuju kota Baghdad dan menyerahkan surat tersebut, setelah membacanya, Ahmad meneteskan air mata. Rabi’ bertanya kepadanya, ‘Ada apa di dalamnya wahai Abu Abdillah?’ Ahmad menjawab ‘Beliau menyebut bahwa beliau melihat nabi dalam mimpi dan berkata kepadanya, ’Tulislah surat kepada Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal dan sampaikan salamku kepadanya! Dan katakan, ‘Engkau akan diuji dan dipaksa mengatakan bahwa Alquran itu makhluq, maka jangan engka turuti permintaan mereka, Allah akan meninggikan derajatmu sebagai panutan di setiap masa hingga hari kiamat. Rabi berkata, “Aku berkata, ‘Ini kabar gembira.’ Lalu Ahmad melepas baju dalamnya yang menyentuh badannya dan menyerahkannya kepadaku, aku mengambilnya dan akupun pulang menuju negeri Mesir bersama surat jawaban Ahmad. Setelah aku serahkan kepadanya, ia bertanya, ‘Apa yang ia berikan kepadamu?’ Aku menjawab, ‘baju gamis yang langsung menyentuh badannya’ Syafi’i berkata kepadaku, ‘Aku tidak ingin merampasnya darimu, tapi basahi dia dan serahkan kepadaku sisa air cuciannya agar aku juga dapat mendapat berkah sepertimu. Maka, kata rabi’, ‘Aku mencucuinya, dan aku bawakan sisa air cuciannya kepadanya aku telakkan di botol, aku menyaksikan beliau setiap hari mengambil sedikit air darinya dan mengusapkannya ke wajah beliau, untuk mengambil keberkahan dari Ahmad ibn Hanbal.[1]
Abul Jauza mengatakan :
Kisah ini tidak shahih, dimana ia dibawakan dalam beberapa sanad dalam sebagian kitab para ulama.
Sanad Pertama
Diriwayatkan oleh Ibnul-Jauziy dan Ibnu ‘Asaakir dari jalan Abu ‘Abdirrahman Muhammad bin Al-Husain : Aku mendengar Muhammad bin ‘Abdillah bin Syaadzaan : Aku mendengar Abul-Qaasim bin Shadaqah : Aku mendengar ‘Aliy bin ‘Abdil-‘Aziiz Ath-Thalhiy : Ar-Rabi’ telah berkata kepadaku bahwasannya Asy-Syafi’iy pergi menuju Mesir…. (dst. dari kisah ini).
Taarikh Dimasyq 5/312, Manaaqib Al-Imam Ahmad oleh Ibnul-Jauziy hal. 609 – dan dari jalan Ibnul-Jauziy, Al-Maqdisiy meriwayatkannya dalam Mihnatul-Imam Ahmad hal. 7.
Dalam sanad ini terdapat rawi yang bernama Muhammad bin Al-Husain Abu ‘Abdirrahman As-Sulamiy. Tertuduh memalsukan hadits. Dan perawi yang di atasnya ada yang tidak diketemukan biografinya.
Tertulis dalam Lisaanul-Miizaan (7/92 no. 6695 – tahqiq : ‘Abdul-Fattaah Abu Ghuddah, Cet. 1/Thn. 1423) saat menyebutkan biografi Muhammad bin Al-Husain Abu ‘Abdirrahman As-Sulamiy :
قال الخطيب قال لي محمد بن يوسف القطان كان يضع الأحاديث للصوفية
“Al-Khathiib berkata : Telah berkata kepadaku Muhammad bin Yusuf Al-Qaththaan : “Ia memalsukan beberapa hadits untuk shufiyyah” [selesai].
Bahkan Ibnul-Jauziy yang membawakan kisah ini pun memberikan jarh kepada Muhammad bin Al-Husain ini dengan perkataannya :
محمد بن الحسين أبو عبد الرحمن السلمي الصوفي حدث عن الأصم وغيره قال أبو بكر الخطيب قال لي محمد بن يوسف القطان كان السلمي غير ثقة وكان يضع للصوفية الأحاديث
“Muhammad bin Al-Husain Abu ‘Abdirrahman As-Sulamiy Ash-Shuufiy, menceritakan hadits dari Al-Asham dan yang lainnya. Telah berkata Abu Bakr Al-Khathiib : Telah berkata kepadaku Muhammad bin Yusuf Al-Qaththaan : “As-Sulamiy bukan seorang yang terpercaya (tsiqah), dan ia memalsukan beberapa hadits untuk Shufiyyah” [Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin oleh Ibnul-Jauziy, 3/52-53 no. 2952, tahqiq : Abul-Fidaa’ ‘Abdullah Al-Qaadliy, Daarul-Kutub].
Sanad Kedua
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir dalam Taarikh Dimasyq (5/312 – tahqiq : ‘Umar bin Gharamah Al-‘Amrawiy, Daarul-Fikr, Cet. Thn. 1415) : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Jabbaar bin Muhammad bin Ahmad Al-Hawaariy Al-baihaqiy Al-Faqiih – dengan didikte di Baghdad – : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Imam Abu Sa’iid Al-Qusyairiy dengan didikte, dan ia adalah ‘Abdul-Waahid bin ‘Abdil-Kariim : Telah memberitakan kepada kami Al-Haakim Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad Ash-Shaffaar : Telah memberitakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf, ia berkata : Aku mendengar Muhammad bin ‘Abdillah Ar-Raaziy, ia berkata : Aku mendengar Ja’far bin Muhammad Al-Maalikiy, ia berkata : Telah berkata Ar-Rabii’ bin Sulaiman : “Sesungguhnya Asy-Syafi’iy –rahimahullah - pergi menuju Mesir……(dst. dari kisah ini)”.
Dan dari jalannya (Ibnu ‘Asaakir), As-Subkiy meriwayatkannya dalam Thabaqaat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubraa (2/35).
Terdapat tashhif dalam sanad antara Taariikh Ibnu ‘Asaakir dimana padanya tertulis Ja’far bin Muhammad Al-Maalikiy, sedangkan dalam Ath-Thabaqaat tertulis Abu Ja’far Muhammad Al-Malathiy.
Sanad riwayat ini gelap. Ada beberapa perawi yang tidak diketahui dan tidak diketemukan biografinya – selain dari Ar-Rabii’ bin Sulaiman. Wallaahu a’lam.
Sanad Ketiga
Diriwayatkan oleh Ibnul-Jauziy dalam Manaaqib Al-Imam Ahmad (hal. 610 – tahqiq Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy) : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Naashir : telah memberitakan kepada kami Abu ‘Aliy Al-Hasan bin Ahmad : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibrahim bin ‘Umar Al-Barmakiy, ia berkata : Aku mendapatkan dalam kitab ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Ahmad bin Syaadzaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Isa Yahya bin Sahl Al-‘Ukbariy dengan ijazah (ijin periwayatan). Al-Barmakiy berkata : Dan aku menulis dari jalan Abu Ishaaq bin Syaqlaa – ia datang kepada kami, dan kemudian meminta ijin darinya (untuk meriwayatkan) - mereka berdua berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-Qaasim Hamzah bin Al-Hasan Al-Haasyimiy Asy-Syaafi’iy – ia seorang yang terpercaya – berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr ‘Abdullah bin Muhammad An-Naisaburiy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ar-Rabii’ bin Sulaiman, ia berkata : Ditulis di hadapan Asy-Syaafi’iy sebuah surat untuk Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal…..(dst. dari kisah ini).
Sanad riwayat ini gelap. Ada beberapa perawi yang tidak diketemukan biografinya lagimajhul.
Adz-Dzahabiy berkata dalam biografi Ar-Rabii’ bin Sulaiman Al-Muadzdzin :
ولم يكن صاحب رحلة فأما ما يروى أن الشافعي بعثه إلى بغداد بكتابه إلى أحمد بن حنبل فغير صحيح
“Tidaklah ia pernah menjadi shaahibu rihlah. Adapun apa-apa yang diriwayatkan bahwasannya Asy-Syafi’iy mengutusnya ke Baghdad dengan membawa surat untuk Ahmad bin Hanbal, maka kisah tersebut tidak benar (tidak shahih)” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 12/587-588, Muassasah Ar-Risalah, Cet. 9/1413].
Yang menguatkan pernyataan Adz-Dzahabiy adalah bahwa tidak ada seorang punmuhaddits ‘Iraq yang menukil darinya, bahwa mereka mendengar riwayat dari Ar-Rabii’ di ‘Iraq, padahal mereka adalah golongan yang masyhur dengan tahdiits-nya. Apalagi Al-Khathiib tidak menuliskan biografi Ar-Rabii’ dalam kitabnya Taariikh Baghdaad, padahal kitab tersebut masyhur dalam penyebutan orang-orang yang pernah menjadi penduduk atau singgah di Baghdad. Wallaahu a’lam.
Jawaban saya :
Kisah ini tidak serta merta ditolak mentah-mentah, karena sebagaimana telah disebutkan sendiri oleh Abul Jauza bahwa kisah ini diriwayatkan dengan tiga jalur dan tiga sanad yang berlainan. Walaupun sanad pertama ada perowi yang lemah, maka sanad kedua dan ketiga menutupinya meskipun ada rowinya yang majhul. Karena jahalah rawi adalah kelemahan yang ringan. Dan para ulama telah menerima dan menukil dari masa ke masa dalam kitab-kitab mereka hingga masa kita sekarang ini.
Kisah ini, meskipun salah satu sanadnya ada yang lemah, maka kisah ini statusnya hasan li ghoirihi karena diriwayatkan dengan beberapa jalur yang berbeda-beda. Sebagaimana kaidah hadits bahwasanya Hasan li Ghoirihi adalah :
هو الحديث الضعيف اذا روي من طريق اخرى مثله او اقوى منه
“ Adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat “
هو الضعيف اذا تعددت طرقه ولم يكن سبب ضعفه فسق الراوي او كذبه
“ Adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifannya bukan karena fasik atau dustanya perowi “.
Dari dua definisi di atas dapat dipahami bahwa hadits dhaof bisa naik menjadi hasan li ghoirihi dengan dua syarat, yaitu :
1. Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat. Dalam kasus kisah imam Syafi’i di atas, telah ditemukan dua sanad lainnya yang seimbang atau bahkan lebih kuat karena dhaifnya hanya karena tidka ditemukan salah satu tarjamah perowinya.
2. Sebab kedhaifannya tidak berat, seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hafalan yang kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawinya. Dan pada sanad-sanad lainnya, kelemahannya hanya dari sisi jahalah perawinya, sehingga hal ini dinilai ringan.
Dengan ini, maka kisah tabarruk imam Syafi’i di atas bisa kita katakan kisah yang bernilai hasan li ghoirihi. Karena kesahihan atau kehasanan suatu hadits tidak mesti harus tergantung dengan perawinya akan tetapi bisa juga dari hadits penguat lainnya, sebagaimana dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar :
صحة الحديث وحسنه ليس تابعاً لحال الراوي فقط بل لأمور تنضم إلى ذلك من المتابعات والشواهد ، وعدم الشذوذ والنكارة
“ Kesahihan dan kehasanan hadits tidak hanya mengikuti keadaan perawinya, akan tetapi bisa juga karena perkara-perkara yang terkumpul dari mutaba’at dan syawahidnya dan tidak adanya kejanggalan dan keburukan maknanya “.
Dan perlu Abul jauza ketahui, bahwasanya hujjah kami dalam melegalkan tabarruk dengan bekas-bekas orang shalih bukan hanya kisah imam Syafi’I ini saja, melainkan kami memiliki banyak hujjah dan dalil tentang ini, di antaranya :
Imam Ahmad bin Hanbal pernah bertabarruk dengan jubbah imam Yahya bin Yahya, Ibnu Muflih al-Hanbali bercerita :
قال المروذي في كتاب الورع : «سمعت أبا عبد الله يقول قد كان يحيى بن يحيى أوصى لي بجبته فجاءني بها ابنه فقال لي فقلت رجل صالح قد أطاع الله فيها أتبرك بها
“ Berkata imam al-Marrudzi di kitab al-Wara’nya, “ Aku mendengar Abu Abdillah berkata, “ Yahya bin Yahya pernah berwsiat kepadaku tentang jubbahnya, lalau putranya datang kepadaku dengan membawa jubbah ayahnya itu. Maka dia bertanya padaku dan aku menjawabnya, “ Dia adalah orang sholeh yang telah ta’at kepada Allah, aku bertabarruk dengan jubahnya “.[2]
Imam Nawawi ketika menyebutkan hadits tabarruk dengan jubbah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, setelahnya beliau berkomentar :
وفى هذا الحديث دليل على استحباب التبرك بآثار الصالحين وثيابهم
“ Dan di dalam hadits ini merupakan dalil atas dianjurkannya bertabarruk dengan bekas-bekas orang-orang shalih dan pakaian mereka “.[3]
Al-Hafidz Ibnu Hajar ketika berkomentar setelah menyebutkan suatu hadits :
وفيه استعمال آثار الصالحين ولباس ملابسهم على جهة التبرك والتيمن بها
“ Dan dalam hadits itu merupakan dalil menggunakan bekas-bekas orang shalih dan pakaian mereka dengan cara bertabarruk dengannya “ [4]
عَنْ مَوْلَى أسْمَاءَ بِنْتِ أبِي بَكْر، قَالَ: أخْرَجَتْ إليْنَا جُبّةً طَيَالِسَةً كَسْرَوَانِيّةً لَهَا لَبِنَةُ دِيْبَاجٍ وَفَرْجَاهَا مَكْفُوْفَانِ، وَقَالَتْ: هذِهِ جُبّةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ، فَلَمَّا قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا، وَكَانَ النّبيّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ يَلبِسُهَا فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى نَسْتَشْفِيْ بِهَا، وَفي روَاية: نَغْسِلُهَا للمَرِيْضِ مِنَّا
“ Dari hamba sahaya Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq, bahwa ia berkata: “Asma’ binti Abi Bakar mengeluarkan jubah –dengan motif– thayalisi dan kasrawani (semacam jubah kaisar) berkerah sutera yang kedua lobangnya tertutup. Asma’ berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah. Semula ia berada di tangan ‘Aisyah. Ketika ‘Aisyah wafat maka aku mengambilnya. Dahulu jubah ini dipakai Rasulullah, oleh karenanya kita mencucinya agar diambil berkahnya sebagai obat bagi orang-orang yang sakit”. Dalam riwayat lain: “Kita mencuci (mencelupkan)-nya di air dan air tersebut menjadi obat bagi orang yang sakit di antara kita”. (HR. Muslim : 3/1641)
Al-Imam Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya menuliskan sebagai berikut:
بَابُ ذِكْرِ إِبَاحَةِ التَّـبَرُّكِ بِوَضُوْءِ الصَّالِحِيْنَ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ إِذَا كَانُوْا مُتَّبِعِيْنَ لِسُنَنِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ، عَنْ ابْنِ أَبِيْ جُحَيْفَةَ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ فِيْ قُبَّةٍ حَمْرَاءَ وَرَأَيْتُ بِلاَلاً أَخْرَجَ وَضُوْءَهُ فَرَأَيْتُ النَّاسَ يَبْتَدِرُوْنَ وَضُوْءَهُ يَتَمَسَّحُوْنَ.
“Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”. Dari Ibn Abi Juhaifah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Aku melihat Rasulullah di Qubbah Hamra’, dan aku melihat Bilal mengeluarkan air wudlu Rasulullah, kemudian aku melihat banyak orang memburu bekas air wudlu tersebut, mereka semua mengusap-usap dengannya” .
Dalam teks itu sangat jelas bahwa Ibn Hibban memahami tabarruk sebagai hal yang tidak khusus kepada Rasulullah saja, tetapi juga berlaku kepada al-Ulama al-‘Amilin. Karena itu beliau mencantumkan hadits tentang tabarruk dengan air bekas wudlu Rasulullah di bawah sebuah bab yang beliau namakan: “Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”.
Shofiyyah an-Nuuriyyah
Refrensi:
[1] Manaqib Ahmad ibn Hanbal”: 455 dan “Al Bidayah wa an Nihayah”; Ibnu Katsir,10/331 dari al Baihaqi
[2] Al-Aadab asy-Syar’iyyah, Ibn muflih : 2/235
[3] Syarh Sahih Muslim : 14/44
[4] Fath al-Bari : 10/198
Tidak ada komentar:
Posting Komentar