di sepuluh hari terakhir bulan Dzulhijjah tahun 97 H. Saat dimana
Baitul ‘Atiq dibanjiri oleh lautan manusia yang menyambut panggilan
Allah hingga memenuhi seluruh ruas jalan. Ada yang berjalan kaki dan
ada yang berkendaraan. Ada yang lanjut usia ada pula yang muda belia,
yang laki-laki maupun yang wanita, ada yang putih ada pula yang hitam
warna kulitnya, ada orang Arab ada pula orang ‘Ajam, ada raja ada pula
rakyat jelata.
Mereka datang berbondong-bondong menyahut seruan rajanya manusia dengan penuh khusyuk, tunduk, penuh harap dan suka cita.
Sementara itu, Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah kaum muslimin, raja tertinggi di dunia sedang berthawaf di Baitul ‘Atiq tanpa mengenakan penutup kepala, tanpa alas kaki, tanpa mengenakan apapun selain sarung dan rida’. Tak ada bedanya antara dirinya dengan rakyat biasa. Beliau layaknya saudara-saudaranya karena Allah. Di belakangnya turut kedua puteranya. Mereka laksana bulan purnama yang terang dan bercahaya, atau bagai sekuntum bunga merekah yang indah dan wangi baunya.Setelah usai melakukan thawaf, khalifah menghampiri seorang kepercayaannya dan bertanya, “Di manakah temanmu itu?” sambil menunjuk ke sudut barat Masjidil Haram dia menjawab, “Di sana, beliau sedang berdiri untuk shalat.” Dengan diiringi kedua puteranya khalifah bertandang menuju lokasi yang dimaksud. Para pengawal khalifah bermaksud menyimak kerumunan orang untuk melapangkan jalan bagi khalifah agar tidak berdesak-desakan, namun beliau mencegahnya sembari berkata, “Ini adalah suatu tempat yang tidak membeda-bedakan antara raja dan rakyat jelata, tiada yang lebih utama antara satu dengan yang lain sedikitpun melainkan karena amal dan takwanya. Boleh jadi seseorang yang kusut berdebu diterima ibadahnya oleh Allah dengan penerimaan yang tidak diberikan kepada para raja.” Kemudian beliau berjalan menuju laki-laki yang dimaksud, beliau dapatkan ia dalam keadaan shalat, hanyut dalam ruku’ dan sujudnya. Sementara orang-orang duduk di belakang, di kanan dan kirinya. Maka duduklah khalifah di penghabisan majlis begitu pula dengan kedua anaknya.Kedua putera mahkota itu mengamati dengan seksama, seperti apa gerangan lelaki yang dimaksud oleh amirul mukminin. Hingga beliau berkenan duduk bersama manusia banyak untuk menunggu laki-laki tersebut menyelesaikan shalatnya.
Setelah merampungkan shalatnya, syaikh itu menolehkan pandangannya di mana khalifah duduk, maka khalifah Sulaiman bin Abdul Malik segera mengucapkan salam dan orang tua itu pun membalasnya dengan serupa.Di sini khalifah menghadap orang tua tersebut dan menggunakan kesempatan itu untuk bertanya tentang manasik haji, rukun dan demi rukunya, sedang orang tua tadi menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Dia jelaskan dengan rinci dan tidak menolak kesempatan bagi yang ingin menambahnya. Dia sandarkan seluruh pendapatkan kepada hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.Setelah merasa cukup dengan pertanyaannya, khalifah mendo’akan syaikh tersebut agar mendapatkan balasan yang lebih baik, lalu khalifah berkata kepada kedua puteranya, “Berdirilah kalian!” maka berdirilah keduanya dan mereka pun beranjak menuju tempat sa’i.
Di tengah perjalanan sa’i antara Shafa dan Marwah, kedua pemuda itu mendengar seruan para penyeru, “Wahai kaum muslimin,..tiada yang berhak berfatwa di tempat ini kecuali Atha’ bin Abi Rabah..jika tidak bertemu dengannya hendaknya menemui Abdullah bin Abi Najih.” Seorang dari pemuda itu langsung menoleh kepada ayahnya sembari berkata, “Petugas amirul mukminin menyuruh manusia agar tidak meminta fatwa kepada seorang pun selain Atha’ bin Abi Rabah dan temannya, namun mengapa kita tadi justru datang dan meminta fatwa kepada seorang laki-laki yang tidak memberikan prioritas kepada khalifah dan tidak pula member hak penghormatan khusus kepadanya?
Sulaiman berkata kepada putranya, “Wahai anakku, pria yang kamu lihat dan engkau melihat kami berlaku hormat di hadapannya tadilah yang bernama Atha’ bin Abi Rabah, orang yang berhak berfatwa di masjidil Al-Haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas dengan bagian yang banyak.” Kemudian beliau melanjutkan, “Wahai anakku carilah ilmu…karena dengan ilmu, rakyat bawahan bisa menjadi terhormat…para budak bisa melampaui derajat para raja…”
Ungkapan Sulaiman bin Abdul Malik seperti yang beliau katakan kepada putranya tentang keutamaan ilmu tidaklah berlebihan. Atha’ bin Abi Rabah sebagai bukti nyata. Masa kecil beliau hanyalah sebagai seorang budak milik seorang wanita penduduk Makkah. Hanya saja Allah ta'ala memuliakan budah Habsyah ini sejak beliau pancangkan kedua telapak kakinya di atas jalan ilmu. Beliau membagi waktunya menjadi tiga bagian, sebagian untuk majikannya, beliau berkhidmat dengan baik dan menunaikan hak-hak majikannya, sebagian lagi beliau pergunakan waktunya untuk menyendiri bersama Rabb-nya, beliau tenggelam dalam peribadatan yang begitu suci dan ikhlas karena Allah ta'ala.Sepertiga lainnya beliau pergunakan untuk berkutat dengan ilmu. Beliau datangi sisa-sisa para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang masih hidup, dan berhasil mereguk ilmu dari sumbernya yang jernih.Beliau mengambil ilmu dari Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubeir dan sahabat-sahabat lain yang mulia ridhwanullah ‘alaihim hingga dadanya penuh dengan ilmu fikih dan riwayat dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Begitu majikan penduduk makkah melihat budaknya telah menjual dirinya kepada Allah…dan berbakat untuk menuntut ilmu maka ia cabut haknya terhadap Atha’, dia merdekakan budaknya demi taqarrub kepada Allah subhanahu wa ta'ala, dengan harapan mudah-mudahan dia dapat memberi manfaat bagi Islam dan kaum muslimin.Sejak hari itu, Atha’ bin Abi Rabah menjadikan Baitul Haram sebagai tempat tinggalnya, menjadi rumah tempat beliau bermalam, sebagai madrasah tempat beliau memperdalam ilmu, tempat shalat untuk taqarrub kepada Allah dengan takwa dan ketaatan, hingga para pakar sejarah mengatakan, “Masjid tersebut menjadi tempat tidur bagi Atha’ bin Abi Rabah selama kurang lebih 20 tahun.”
Sampailah tabi’in yang agung ini ke derajat yang tinggi, dalam hal ilmu, puncak keluhuran martabat yang tiada manusia yang mampu memperoleh derajat tersebut melainkan sedikit sekali pada zaman beliau.
Telah diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu berkunjung ke Makkah untuk melakukan umrah. Orang-orang mengerumuni beliau untuk menanyakan persoalan agama dan meminta fatwa kepada beliau, lalu beliau berkata, “Sungguh aku heran kepada kalian wahai penduduk Makkah, mengapa kalian mengerumuni aku untuk bertanya masalah-masalah tersebut padahal di tengah-tengah kalian ada Atha’ bin Rabah?!”
Atha’ bin Abi Rabah mencapai puncak derajat dalam hal agama dan ilmu karena dua hal:Pertama, beliau mampu mengendalikan jiwanya sehingga tidak memberikan peluang untuk sibuk dalam urusan yang tidak berguna baginya.Kedua, beliau mampu mengatur waktunya sehingga tidak membuangnya secara sia-sia, seperti mengobrol ataupun perbuatan tak berguna lainnya.
Muhammad bin Surqah menceritakan kepada jama’ah yang mengunjungi beliau, “Maukah aku ceritakan kepada kalian sesuatu yang mudah-mudahan bermanfaat bagi kalian sebagaimana kami telah mendapatkan manfaat karenanya?” Mereka berkata, “Mau.” Beliau berkata, “Suatu hari Atha’ bin Abi Rabah menasehatiku, ‘Wahai putra saudaraku, sesungguhnya orang-orang sebelum kita (yakni para sahabat) tidak menyukai banyak bicara.’ Lalu aku katakan, ‘Apa yang dianggap banyak bicara menurut mereka?’ beliau menjawab, ‘Mereka menganggap bahwa setiap ucapan termasuk berlebih-lebihan melainkan dalam rangka membaca al-Kitab dan memahaminya, atau membaca hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan dan harus diketahui, atau memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, atau berbicara tentang ilmu yang dengannya menjadi sarana taqarrub kepada Allah Ta’ala, atau engkau membicarakan tentang kebutuhan dan pekerjaan yang harus dibicarakan.’ ‘Lalu beliau memperhatikan raut wajahku seraya berkata, ‘Apakah kalian mengingkari firman Allah Ta’ala, ‘Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu),’ (Al-Infithar: 10 – 11).”
Dan bahwa masing-masing dari kalian disertai oleh dua malaikat. “Yaitu ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir,”(Qaaf: 17-18).Kemudian beliau berkata, “Tidakkah salah seorang diantara kita merasa malu manakala dibukakan lembaran catatan amal yang dikerjakan sepanjang siang, lalu dia mendapatkan di dalamnya sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan urusan agama maupun kepentingan dunianya?”
Sungguh, Allah subhanahu wa ta'ala memberikan manfaat kepada banyak orang dengan ilmu Atha’ bin Abi Rabah. Diantara mereka ada yang menjadi ahli ilmu yang handal, ada yang menjadi pengusaha dan lain-lain.Imam Abu Hanifah an-Nu’man menceritakan pengalaman beliau, “Aku pernah melakukan lima kesalahan ketika melakukan manasik di Makkah, lalu seorang tukang cukur mengajariku. Peristiwa itu terjadi ketika aku bermaksud mencukur rambut karena hendak menyudahi ihram, maka aku mendatangi seorang tukang cukur, lalu aku bertanya, “Berapa upah yang harus aku bayar untuk mencukur rambut kepala?” tukang cukur itu menjawab, “Semoga Allah memberikan hidayah kepada Anda, ibadah tidak mempersayaratkan itu, duduklah dan posisikan kepala sesuka Anda.” Aku pun merasa grogi dan duduk. Hanya saja ketika itu aku duduk membelakangi kiblat, maka tukang cukur itu mengisyaratkan agar aku menghadap kiblat dan akupun menuruti kata-katanya. Yang demikian itu semakin membuat aku salah tingkah. Lalu aku serahkan kepala bagian kiri untuk dipangkas rambutnya, namun tukang cukur itu berkata, “Berikan bagian kanan.” Lalu aku pun menyerahkan bagian kanan kepalaku.Tukang cukur itu mulai memangkas rambutku sementara aku hanya diam memperhatikannya dengan takjub. Melihat sikapku, tukang cukur itu berkata, “Mengapa Anda diam saja? Bertakbirlah!” lalu aku pun bertakbir hingga aku beranjak untuk pergi. Untuk kesekian kalinya tukang cukur itu menegurku, “Hendak kemanakah Anda?” Aku katakan, “Aku hendak pergi menuju kendaraanku.” Tukang cukur itu berkata, “Shalatlah dua rakaat terlebih dahulu baru kemudian pergilah sesuka Anda.” Aku pun shalat dua rakaat, lalu aku berkata kepada diriku sendiri, “Tidak mungkin seorang tukang cukur bisa berbuat seperti ini melainkan pasti dia memiliki ilmu.” Kemudian aku bertanya kepadanya, “Darimanakah Anda mendapatkan tatacara manasik yang telah Anda ajarkan kepadaku tadi?” orang itu menjawab, “Aku melihat Atha’ bin Abi Rabah mengerjakan seperti itu lalu aku mengambilnya dan memberikan pengarahan kepada manusia dengannya.”
Sungguh, gemerlapnya dunia telah merayu Atha’ bin Abi Rabah namun beliau berpaling dan menampiknya dengan serius. Sepanjang hayat beliau hanya mengenakan baju yang harganya tidak lebih dari 5 dirham saja.
Para khalifah telah meminta kesediaan beliau untuk menjadi pendamping mereka, namun beliau tidak mengabulkannya. Karena beliau takut agamanya ternoda oleh dunianya. Namun demikian, terkadang beliau mengunjungi khalifah jika beliau merasa hal itu dapat mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin maupun kebaikan bagi Islam.
Seperti dalam peristiwa yang dikisahkan oleh Utsman bin Atha’ Al-Khurasani. “Aku pergi bersama ayah untuk menghadapi Hisyam bin Abdul Malik, tatkala perjalanan kami telah dekat dengan Damsyik, tiba-tiba kami bertemu dengan orang tua yang menunggangi himar hitam, mengenakan baju lusuh dan memakai jubah yang telah usang, penutup kepala yang telah kusut melekat pula pada kepalanya. Pelana yang dipakai terbuat dari kayu yang murahan, aku tertawa geli karenanya. Lalu aku bertanya kepada ayah, “Siapakah orang ini?” Ayah berkata, “Diam kamu, dia adalah penghulu para ahli fikih di Hijaz Atha’ bin Abi Rabah.” Ketika telah dekat jarak kami dengannya, ayah bergegas turun dari bighalnya sedangkan Atha’ turun dari himarnya. Keduanya saling berpelukan dan saling menanyakan kabarnya, kemudian keduanya kembali dan menaiki kendaraannya. Mereka berjalan hingga berhenti di depan pintu istana Hisyam bin Abdul Malik. Keduanya diminta duduk hingga mendapatkan izin untuk masuk.
Setelah ayah keluar, aku bertanya kepadanya, “Ceritakanlah apa yang Anda lakukan berdua di dalam istana?” beliau berkata, “Tatkala Hisyam mengetahui bahwa Atha’ bin Abi Rabah berada di depan pintu, maka beliau bersegera dan mempersilahkan kami masuk. Demi Allah, aku tidak akan bisa masuk melainkan bersama Atha’. Demi melihat Atha’, Hisyam berkata, “Marhaban! Marhaban! Silahkan, silahkan…beliau terus menyambut silahkan…silahkan!” hingga Hisyam mendudukkan Atha’ di atas kasurnya dan menempelkan lututnya ke lutut Atha’. Ketika itu majelis dihadiri oleh para bangsawan, tadinya mereka bercakap-cakap namun seketika mereka menjadi diam.
Kemudian Hisyam menghadap Atha’ dan terjadilah dialog antara mereka berdua.
Hisyam: “Apa keperluan Anda wahai Abu Muhammad?”
Atha’: “Wahai amirul mukminin, penduduk Haramain, keluarga Allah dan tetangga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hendaknya mendapatkan pembagian rezeki dan pemberian.”
Hisyam: “Baik…wahai penulis, tulis bagi penduduk Makkah dan Madinah untuk menerima bantuan selama satu tahun.” (Lalu Hisyam bertanya lagi kepada Atha’), “Masih adakah keperluan lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’: “Benar, wahai amirul mukminin, penduduk Hijaz dan penduduk Najd, asal mula Arab dan tempat para pemimpin Islam, janganlah diambil kelebihan sedekah mereka..”
Hisyam: “Baik…! Wahai penulis, tulis agar kita menolak penyerahan sedekah mereka.” Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’: “Benar wahai amirul mukminin, ahluts tsugur (yang ribat fii sabilillah di perbatasan) mereka berdiri menjaga dari musuh, mereka membunuh siapapun yang menimpakan keburukan kepada kaum muslimin, hendaknya dikirim rezeki kepada mereka. Karena jika mereka terbunuh niscaya akan lenyaplah perbatasan.”
Hisyam: “Baiklah…! Wahai penulis, tulislah agar kita mengirim makanan kepada mereka.” Masih adakah keperluan lainnya wahai Abu Muhammad?”
Atha’: “Benar wahai amirul mukminin, ahli dzimmah, janganlah dibebani dengan apa-apa yang tidak mereka mampui, karena ketundukan mereka adalah kekuatan bagi kalian untuk mengalahkan musuh kalian.”
Hisyam: (berkata kepada penulisnya) “Wahai penulis, tulislah bagi ahlu dzimmah agar mereka tidak dibebani dengan apa-apa yang tidak mereka mampui.” Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’: “Benar…bertakwalah kepada Allah atas dirimu wahai amirul mukminin, ketahuilah bahwa engkau diciptakan seorang diri, engkaupun akan mati seorang diri, dikumpulkan di makhsyar seorang diri, dihisab seorang diri, dihisab seorang diri, dan demi Allah engkau tidak melihat siapapun...!”
Hisyam menundukkan kepalanya sambil menangis, lalu berdirilah Atha’ dan aku pun berdiri bersama beliau. Namun, ketika kami melewati pintu tiba-tiba ada seseorang yang membuntuti beliau sambil membawa sebuah bejana yang aku tidak tahu apa isinya sembari mengatakan, “Sesungguhnya amirul mukminin menyuruhkan untuk menyerahkan ini kepada Anda!” Atha’ menjawab, “Tidak.” Lalu beliau membaca ayat:
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahkan tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta Alam,” (Asy-Syu’ara: 109).
Demi Allah, beliau masuk ke istana khalifah dan keluar dari sisinya sementara beliau sama sekali tidak minum seteguk air pun.
Pada gilirannya Atha’ bin Abi Rabah dikaruniai umur panjang hingga 100 tahun, beliau penuhi umurnya dengan ilmu dan amal, beliau isi dengan kebaikan dan takwa, beliau sucikan dirinya dengan zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia, dan mengharap apa yang ada di sisi Allah.
Begitu ajal menjemput, alangkah ringan beban dunia yang dipundaknya. Karena kebanyak bekalnya adalah amal untuk akhirat. Ia bawa pahala 70 kali haji dan 70 kali wukuf di Arafah. Beliau memohon kepada Allah Ta’ala keridhaan dan surga-Nya dan memohon perlindungan kepada-Nya dan kemurkaan-Nya dan siksa neraka.”
Sumber: Buku "Mereka Adalah Para Tabi'in", Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Pustaka At-Tibyan, hlm. 15-24
Mereka datang berbondong-bondong menyahut seruan rajanya manusia dengan penuh khusyuk, tunduk, penuh harap dan suka cita.
Sementara itu, Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah kaum muslimin, raja tertinggi di dunia sedang berthawaf di Baitul ‘Atiq tanpa mengenakan penutup kepala, tanpa alas kaki, tanpa mengenakan apapun selain sarung dan rida’. Tak ada bedanya antara dirinya dengan rakyat biasa. Beliau layaknya saudara-saudaranya karena Allah. Di belakangnya turut kedua puteranya. Mereka laksana bulan purnama yang terang dan bercahaya, atau bagai sekuntum bunga merekah yang indah dan wangi baunya.Setelah usai melakukan thawaf, khalifah menghampiri seorang kepercayaannya dan bertanya, “Di manakah temanmu itu?” sambil menunjuk ke sudut barat Masjidil Haram dia menjawab, “Di sana, beliau sedang berdiri untuk shalat.” Dengan diiringi kedua puteranya khalifah bertandang menuju lokasi yang dimaksud. Para pengawal khalifah bermaksud menyimak kerumunan orang untuk melapangkan jalan bagi khalifah agar tidak berdesak-desakan, namun beliau mencegahnya sembari berkata, “Ini adalah suatu tempat yang tidak membeda-bedakan antara raja dan rakyat jelata, tiada yang lebih utama antara satu dengan yang lain sedikitpun melainkan karena amal dan takwanya. Boleh jadi seseorang yang kusut berdebu diterima ibadahnya oleh Allah dengan penerimaan yang tidak diberikan kepada para raja.” Kemudian beliau berjalan menuju laki-laki yang dimaksud, beliau dapatkan ia dalam keadaan shalat, hanyut dalam ruku’ dan sujudnya. Sementara orang-orang duduk di belakang, di kanan dan kirinya. Maka duduklah khalifah di penghabisan majlis begitu pula dengan kedua anaknya.Kedua putera mahkota itu mengamati dengan seksama, seperti apa gerangan lelaki yang dimaksud oleh amirul mukminin. Hingga beliau berkenan duduk bersama manusia banyak untuk menunggu laki-laki tersebut menyelesaikan shalatnya.
Ternyata dia adalah seorang tua Habsyi yang berkulit hitam, keriting rambutnya dan pesek hidungnya. Apabila duduk laksana burung gagak berwarna hitam.
Setelah merampungkan shalatnya, syaikh itu menolehkan pandangannya di mana khalifah duduk, maka khalifah Sulaiman bin Abdul Malik segera mengucapkan salam dan orang tua itu pun membalasnya dengan serupa.Di sini khalifah menghadap orang tua tersebut dan menggunakan kesempatan itu untuk bertanya tentang manasik haji, rukun dan demi rukunya, sedang orang tua tadi menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Dia jelaskan dengan rinci dan tidak menolak kesempatan bagi yang ingin menambahnya. Dia sandarkan seluruh pendapatkan kepada hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.Setelah merasa cukup dengan pertanyaannya, khalifah mendo’akan syaikh tersebut agar mendapatkan balasan yang lebih baik, lalu khalifah berkata kepada kedua puteranya, “Berdirilah kalian!” maka berdirilah keduanya dan mereka pun beranjak menuju tempat sa’i.
Di tengah perjalanan sa’i antara Shafa dan Marwah, kedua pemuda itu mendengar seruan para penyeru, “Wahai kaum muslimin,..tiada yang berhak berfatwa di tempat ini kecuali Atha’ bin Abi Rabah..jika tidak bertemu dengannya hendaknya menemui Abdullah bin Abi Najih.” Seorang dari pemuda itu langsung menoleh kepada ayahnya sembari berkata, “Petugas amirul mukminin menyuruh manusia agar tidak meminta fatwa kepada seorang pun selain Atha’ bin Abi Rabah dan temannya, namun mengapa kita tadi justru datang dan meminta fatwa kepada seorang laki-laki yang tidak memberikan prioritas kepada khalifah dan tidak pula member hak penghormatan khusus kepadanya?
Sulaiman berkata kepada putranya, “Wahai anakku, pria yang kamu lihat dan engkau melihat kami berlaku hormat di hadapannya tadilah yang bernama Atha’ bin Abi Rabah, orang yang berhak berfatwa di masjidil Al-Haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas dengan bagian yang banyak.” Kemudian beliau melanjutkan, “Wahai anakku carilah ilmu…karena dengan ilmu, rakyat bawahan bisa menjadi terhormat…para budak bisa melampaui derajat para raja…”
Ungkapan Sulaiman bin Abdul Malik seperti yang beliau katakan kepada putranya tentang keutamaan ilmu tidaklah berlebihan. Atha’ bin Abi Rabah sebagai bukti nyata. Masa kecil beliau hanyalah sebagai seorang budak milik seorang wanita penduduk Makkah. Hanya saja Allah ta'ala memuliakan budah Habsyah ini sejak beliau pancangkan kedua telapak kakinya di atas jalan ilmu. Beliau membagi waktunya menjadi tiga bagian, sebagian untuk majikannya, beliau berkhidmat dengan baik dan menunaikan hak-hak majikannya, sebagian lagi beliau pergunakan waktunya untuk menyendiri bersama Rabb-nya, beliau tenggelam dalam peribadatan yang begitu suci dan ikhlas karena Allah ta'ala.Sepertiga lainnya beliau pergunakan untuk berkutat dengan ilmu. Beliau datangi sisa-sisa para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang masih hidup, dan berhasil mereguk ilmu dari sumbernya yang jernih.Beliau mengambil ilmu dari Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubeir dan sahabat-sahabat lain yang mulia ridhwanullah ‘alaihim hingga dadanya penuh dengan ilmu fikih dan riwayat dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Begitu majikan penduduk makkah melihat budaknya telah menjual dirinya kepada Allah…dan berbakat untuk menuntut ilmu maka ia cabut haknya terhadap Atha’, dia merdekakan budaknya demi taqarrub kepada Allah subhanahu wa ta'ala, dengan harapan mudah-mudahan dia dapat memberi manfaat bagi Islam dan kaum muslimin.Sejak hari itu, Atha’ bin Abi Rabah menjadikan Baitul Haram sebagai tempat tinggalnya, menjadi rumah tempat beliau bermalam, sebagai madrasah tempat beliau memperdalam ilmu, tempat shalat untuk taqarrub kepada Allah dengan takwa dan ketaatan, hingga para pakar sejarah mengatakan, “Masjid tersebut menjadi tempat tidur bagi Atha’ bin Abi Rabah selama kurang lebih 20 tahun.”
Sampailah tabi’in yang agung ini ke derajat yang tinggi, dalam hal ilmu, puncak keluhuran martabat yang tiada manusia yang mampu memperoleh derajat tersebut melainkan sedikit sekali pada zaman beliau.
Telah diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu berkunjung ke Makkah untuk melakukan umrah. Orang-orang mengerumuni beliau untuk menanyakan persoalan agama dan meminta fatwa kepada beliau, lalu beliau berkata, “Sungguh aku heran kepada kalian wahai penduduk Makkah, mengapa kalian mengerumuni aku untuk bertanya masalah-masalah tersebut padahal di tengah-tengah kalian ada Atha’ bin Rabah?!”
Atha’ bin Abi Rabah mencapai puncak derajat dalam hal agama dan ilmu karena dua hal:Pertama, beliau mampu mengendalikan jiwanya sehingga tidak memberikan peluang untuk sibuk dalam urusan yang tidak berguna baginya.Kedua, beliau mampu mengatur waktunya sehingga tidak membuangnya secara sia-sia, seperti mengobrol ataupun perbuatan tak berguna lainnya.
Muhammad bin Surqah menceritakan kepada jama’ah yang mengunjungi beliau, “Maukah aku ceritakan kepada kalian sesuatu yang mudah-mudahan bermanfaat bagi kalian sebagaimana kami telah mendapatkan manfaat karenanya?” Mereka berkata, “Mau.” Beliau berkata, “Suatu hari Atha’ bin Abi Rabah menasehatiku, ‘Wahai putra saudaraku, sesungguhnya orang-orang sebelum kita (yakni para sahabat) tidak menyukai banyak bicara.’ Lalu aku katakan, ‘Apa yang dianggap banyak bicara menurut mereka?’ beliau menjawab, ‘Mereka menganggap bahwa setiap ucapan termasuk berlebih-lebihan melainkan dalam rangka membaca al-Kitab dan memahaminya, atau membaca hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan dan harus diketahui, atau memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, atau berbicara tentang ilmu yang dengannya menjadi sarana taqarrub kepada Allah Ta’ala, atau engkau membicarakan tentang kebutuhan dan pekerjaan yang harus dibicarakan.’ ‘Lalu beliau memperhatikan raut wajahku seraya berkata, ‘Apakah kalian mengingkari firman Allah Ta’ala, ‘Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu),’ (Al-Infithar: 10 – 11).”
Dan bahwa masing-masing dari kalian disertai oleh dua malaikat. “Yaitu ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir,”(Qaaf: 17-18).Kemudian beliau berkata, “Tidakkah salah seorang diantara kita merasa malu manakala dibukakan lembaran catatan amal yang dikerjakan sepanjang siang, lalu dia mendapatkan di dalamnya sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan urusan agama maupun kepentingan dunianya?”
Sungguh, Allah subhanahu wa ta'ala memberikan manfaat kepada banyak orang dengan ilmu Atha’ bin Abi Rabah. Diantara mereka ada yang menjadi ahli ilmu yang handal, ada yang menjadi pengusaha dan lain-lain.Imam Abu Hanifah an-Nu’man menceritakan pengalaman beliau, “Aku pernah melakukan lima kesalahan ketika melakukan manasik di Makkah, lalu seorang tukang cukur mengajariku. Peristiwa itu terjadi ketika aku bermaksud mencukur rambut karena hendak menyudahi ihram, maka aku mendatangi seorang tukang cukur, lalu aku bertanya, “Berapa upah yang harus aku bayar untuk mencukur rambut kepala?” tukang cukur itu menjawab, “Semoga Allah memberikan hidayah kepada Anda, ibadah tidak mempersayaratkan itu, duduklah dan posisikan kepala sesuka Anda.” Aku pun merasa grogi dan duduk. Hanya saja ketika itu aku duduk membelakangi kiblat, maka tukang cukur itu mengisyaratkan agar aku menghadap kiblat dan akupun menuruti kata-katanya. Yang demikian itu semakin membuat aku salah tingkah. Lalu aku serahkan kepala bagian kiri untuk dipangkas rambutnya, namun tukang cukur itu berkata, “Berikan bagian kanan.” Lalu aku pun menyerahkan bagian kanan kepalaku.Tukang cukur itu mulai memangkas rambutku sementara aku hanya diam memperhatikannya dengan takjub. Melihat sikapku, tukang cukur itu berkata, “Mengapa Anda diam saja? Bertakbirlah!” lalu aku pun bertakbir hingga aku beranjak untuk pergi. Untuk kesekian kalinya tukang cukur itu menegurku, “Hendak kemanakah Anda?” Aku katakan, “Aku hendak pergi menuju kendaraanku.” Tukang cukur itu berkata, “Shalatlah dua rakaat terlebih dahulu baru kemudian pergilah sesuka Anda.” Aku pun shalat dua rakaat, lalu aku berkata kepada diriku sendiri, “Tidak mungkin seorang tukang cukur bisa berbuat seperti ini melainkan pasti dia memiliki ilmu.” Kemudian aku bertanya kepadanya, “Darimanakah Anda mendapatkan tatacara manasik yang telah Anda ajarkan kepadaku tadi?” orang itu menjawab, “Aku melihat Atha’ bin Abi Rabah mengerjakan seperti itu lalu aku mengambilnya dan memberikan pengarahan kepada manusia dengannya.”
Sungguh, gemerlapnya dunia telah merayu Atha’ bin Abi Rabah namun beliau berpaling dan menampiknya dengan serius. Sepanjang hayat beliau hanya mengenakan baju yang harganya tidak lebih dari 5 dirham saja.
Para khalifah telah meminta kesediaan beliau untuk menjadi pendamping mereka, namun beliau tidak mengabulkannya. Karena beliau takut agamanya ternoda oleh dunianya. Namun demikian, terkadang beliau mengunjungi khalifah jika beliau merasa hal itu dapat mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin maupun kebaikan bagi Islam.
Seperti dalam peristiwa yang dikisahkan oleh Utsman bin Atha’ Al-Khurasani. “Aku pergi bersama ayah untuk menghadapi Hisyam bin Abdul Malik, tatkala perjalanan kami telah dekat dengan Damsyik, tiba-tiba kami bertemu dengan orang tua yang menunggangi himar hitam, mengenakan baju lusuh dan memakai jubah yang telah usang, penutup kepala yang telah kusut melekat pula pada kepalanya. Pelana yang dipakai terbuat dari kayu yang murahan, aku tertawa geli karenanya. Lalu aku bertanya kepada ayah, “Siapakah orang ini?” Ayah berkata, “Diam kamu, dia adalah penghulu para ahli fikih di Hijaz Atha’ bin Abi Rabah.” Ketika telah dekat jarak kami dengannya, ayah bergegas turun dari bighalnya sedangkan Atha’ turun dari himarnya. Keduanya saling berpelukan dan saling menanyakan kabarnya, kemudian keduanya kembali dan menaiki kendaraannya. Mereka berjalan hingga berhenti di depan pintu istana Hisyam bin Abdul Malik. Keduanya diminta duduk hingga mendapatkan izin untuk masuk.
Setelah ayah keluar, aku bertanya kepadanya, “Ceritakanlah apa yang Anda lakukan berdua di dalam istana?” beliau berkata, “Tatkala Hisyam mengetahui bahwa Atha’ bin Abi Rabah berada di depan pintu, maka beliau bersegera dan mempersilahkan kami masuk. Demi Allah, aku tidak akan bisa masuk melainkan bersama Atha’. Demi melihat Atha’, Hisyam berkata, “Marhaban! Marhaban! Silahkan, silahkan…beliau terus menyambut silahkan…silahkan!” hingga Hisyam mendudukkan Atha’ di atas kasurnya dan menempelkan lututnya ke lutut Atha’. Ketika itu majelis dihadiri oleh para bangsawan, tadinya mereka bercakap-cakap namun seketika mereka menjadi diam.
Kemudian Hisyam menghadap Atha’ dan terjadilah dialog antara mereka berdua.
Hisyam: “Apa keperluan Anda wahai Abu Muhammad?”
Atha’: “Wahai amirul mukminin, penduduk Haramain, keluarga Allah dan tetangga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hendaknya mendapatkan pembagian rezeki dan pemberian.”
Hisyam: “Baik…wahai penulis, tulis bagi penduduk Makkah dan Madinah untuk menerima bantuan selama satu tahun.” (Lalu Hisyam bertanya lagi kepada Atha’), “Masih adakah keperluan lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’: “Benar, wahai amirul mukminin, penduduk Hijaz dan penduduk Najd, asal mula Arab dan tempat para pemimpin Islam, janganlah diambil kelebihan sedekah mereka..”
Hisyam: “Baik…! Wahai penulis, tulis agar kita menolak penyerahan sedekah mereka.” Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’: “Benar wahai amirul mukminin, ahluts tsugur (yang ribat fii sabilillah di perbatasan) mereka berdiri menjaga dari musuh, mereka membunuh siapapun yang menimpakan keburukan kepada kaum muslimin, hendaknya dikirim rezeki kepada mereka. Karena jika mereka terbunuh niscaya akan lenyaplah perbatasan.”
Hisyam: “Baiklah…! Wahai penulis, tulislah agar kita mengirim makanan kepada mereka.” Masih adakah keperluan lainnya wahai Abu Muhammad?”
Atha’: “Benar wahai amirul mukminin, ahli dzimmah, janganlah dibebani dengan apa-apa yang tidak mereka mampui, karena ketundukan mereka adalah kekuatan bagi kalian untuk mengalahkan musuh kalian.”
Hisyam: (berkata kepada penulisnya) “Wahai penulis, tulislah bagi ahlu dzimmah agar mereka tidak dibebani dengan apa-apa yang tidak mereka mampui.” Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’: “Benar…bertakwalah kepada Allah atas dirimu wahai amirul mukminin, ketahuilah bahwa engkau diciptakan seorang diri, engkaupun akan mati seorang diri, dikumpulkan di makhsyar seorang diri, dihisab seorang diri, dihisab seorang diri, dan demi Allah engkau tidak melihat siapapun...!”
Hisyam menundukkan kepalanya sambil menangis, lalu berdirilah Atha’ dan aku pun berdiri bersama beliau. Namun, ketika kami melewati pintu tiba-tiba ada seseorang yang membuntuti beliau sambil membawa sebuah bejana yang aku tidak tahu apa isinya sembari mengatakan, “Sesungguhnya amirul mukminin menyuruhkan untuk menyerahkan ini kepada Anda!” Atha’ menjawab, “Tidak.” Lalu beliau membaca ayat:
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahkan tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta Alam,” (Asy-Syu’ara: 109).
Demi Allah, beliau masuk ke istana khalifah dan keluar dari sisinya sementara beliau sama sekali tidak minum seteguk air pun.
Pada gilirannya Atha’ bin Abi Rabah dikaruniai umur panjang hingga 100 tahun, beliau penuhi umurnya dengan ilmu dan amal, beliau isi dengan kebaikan dan takwa, beliau sucikan dirinya dengan zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia, dan mengharap apa yang ada di sisi Allah.
Begitu ajal menjemput, alangkah ringan beban dunia yang dipundaknya. Karena kebanyak bekalnya adalah amal untuk akhirat. Ia bawa pahala 70 kali haji dan 70 kali wukuf di Arafah. Beliau memohon kepada Allah Ta’ala keridhaan dan surga-Nya dan memohon perlindungan kepada-Nya dan kemurkaan-Nya dan siksa neraka.”
Sumber: Buku "Mereka Adalah Para Tabi'in", Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Pustaka At-Tibyan, hlm. 15-24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar