Usia Anas masih sangat muda, ketika ibunya al-Ghumaisha’ mentalqinnya
dengan dua kalimat syahadat. lbunya mengisi hatinya yang bersih dengan
kecintaan kepada Nabiyul Islam Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Maka di benak Anas pun mulai tumbuh rasa cinta kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun dia belum pernah bersua dengan Nabi mulia tersebut dan hanya mendengar kisah beliau sebatas dari orang ke orang.
Tidak mengherankan, karena terkadang telinga lebih dulu merindukan sesuatu daripada mata.
Betapa seringnya Anas kecil berangan bisa berkelana menemui Nabinya di Makkah atau beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa datang kepada mereka di Yatsrib sehingga dia bisa berbahagia karena bisa melihatnya dan tenteram karena berjumpa dengannya.
Angan-angan itu dalam waktu dekat ternyata telah berubah menjadi kenyataan, Yatsrib yang membanggakan dan berbahagia mendengar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shahabatnya, ash-Shiddiq, sedang dalam perjalanan ke arahnya. Maka keceriaan menaungi semua rumah dan kebahagiaan menyelimuti semua hati.
Mata dan hati bergayut dengan jalan yang penuh berkah, jalan yang membawa langkah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shahabatnya ke Yatsrib.
Anak-anak muda bergumam setiap cahaya pagi bersinar, Muhammad telah datang. Maka Anas bersama anak-anak kecil lainnya berlari-lari hendak menyambutnya, namun dia tidak melihat siapa pun, dia pun pulang dengan sedih lagi kecewa.
Di suatu pagi yang indah yang penuh asa dan keceriaannya yang semerbak, orang-orang Yatsrib pun saling berbisik satu sama lain, “Muhammad dan shahabatnya telah berjalan mendekati Madinah.”
Mata orang banyak pun berhamburan ke jalan-jalan yang penuh berkah, jalan yang membawa Nabi petunjuk dan kebaikan kepada mereka.
Mereka berbondong-bondong menyambut kedatangan beliau secara bergelombang, kelompok demi kelompok, di sela-sela mereka ada sekumpulan anak-anak yang tak kalah bersemangat, wajah-wajah mereka dihiasi kebahagiaan dan menyatu dengan hati kecil mereka serta yang penuh sutra cita memenuhi jiwa mereka yang jernih.
Di barisan depan anak-anak tersebut adalah Anas bin Malik al-Anshari.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan shahabatnya ash-Shiddiq datang, keduanya berjalan di antara kumpulan orang-orang dewasa dan anak-anak dalam rombongan yang besar.
Adapun kaum wanita dan gadis-gadis remaja yang biasa tinggal di rumah maka mereka naik ke atap-atap rumah, mereka ingin melihat Rasulullah seraya berguman, “Yang mana dia? Yang mana dia?”
Hari itu adalah hari yang tidak terlupakan. Anas bin Malik senantiasa mengingatnya sampai dia berumur seratus tahun lebih.
Tidak lama setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Madinah, al-Ghumaisha’ binti Milhan, datang kepada beliau dengan disertai Anas anak laki-lakinya yang masih kanak-kanak, anak laki-laki itu berlarian di depan ibunya dengan ujung rambut yang jatuh di keningnya.
Al-Ghumaisha’ mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia berkata, “Ya Rasulullah, semua laki-laki dan wanita dari Anshar telah memberimu hadiah, tetapi aku tidak mempunyai apa pun yang bisa aku jadikan hadiah untukmu selain anak laki-lakiku ini. Terimalah dia, dan dia akan berkhidmat kepadamu sesuai dengan apa yang engkau inginkan.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbahagia, beliau memandang anak muda ini dengan wajah berseri-seri, beliau mengusap kepalanya dengan tangan beliau yang mulia, menyentuh ujung rambutnya dengan jari-jemari beliau yang lembut dan beliau menganggapnya sebagai keluarga.
Anas bin Malik atau Unais (Anas kecil), begitu terkadang mereka memanggilnya sebagai ungkapan sayang kepalanya, berumur sepuluh tahun manakala dia berbahagia bisa berkhidmat untuk Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
Anas hidup di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berada di bawah bimbingan beliau sampai Nabi berpulang ke ar-Rafiq al-A’la yaitu selama kurang lebih 10 tahun.
Selama itu Anas memperoleh bimbingan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yang dengannya dia menyucikan jiwanya. memahami hadits beliau yang memenuhi dadanya, mengenal akhlak beliau yang agung, rahasia-rahasia dan sifat-sifat terpuji beliau yang tidak dikenal oleh orang lain.
Anas bin Malik mendapatkan perlakuan yang mulia dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak pernah diperoleh oleh seorang anak dari bapaknya. Mengenyam keluhuran perangai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keagungan sifat-sifatnya yang membuat dunia patut untuk iri kepadanya.
Biarkanlah Anas sendiri yang menyampaikan sebagian lembaran cemerlang dari perlakuan mulia yang dia dapatkan di bawah naungan seorang nabi yang pemurah dan berhati mulia, karena Anas lebih tahu tentangnya dan lebih berhak untuk menceritakannya.
Anas bin Malik berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya, paling lapang dadanya dan paling besar kasih sayangnya. Suatu hari beliau mengutusku untuk suatu keperluan, aku berangkat, tetapi aku menuju anak-anak yang sedang bermain di pasar dan bukan melaksanakan tugas Rasul , aku ingin bermain bersama mereka, aku tidak pergi menunaikan perintah yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beberapa saat setelah berada di tengah-tengah anak-anak itu, aku merasa seseorang berdiri di belakangku dan memegang bajuku. Aku menoleh, ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tersenyum, beliau bersabda, “Wahai Unais, apakah kamu telah pergi seperti yang aku perintahkan?” Maka aku pun salah tingkah, aku menjawab, “Ya, sekarang aku berangkat Rasulullah.”
Demi Allah, aku. telah berkhidmat kepada beliau selama sepuluh tahun, beliau tidak pernah berkata untuk sesuatu yang aku lakukan, “Mengapa kamu melakukan ini?” Beliau tidak pernah berkata untuk sesuatu yang aku tinggalkan, “Mengapa kamu tinggalkan ini?”
Bila Rasulullah memanggil Anas, terkadang beliau memanggilnya dengan Unais sebagai ungkapan cinta dan kasing sayang, dan di lain waktu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya, “Wahai anakku.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat-nasihat dan petuah-petuah beliau yang memenuhi hati dan jiwanya.
Di antara nasihat-nasihat itu adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya:
“Wahai anakku, jika kamu mampu mendapatkan pagi dan petang sementara hatimu tidak membawa kebencian kepada seseorang maka lakukanlah. Wahai anakku, sesungguhnya hal itu termasuk sunnahku, barangsiapa menghidupkan sunnahku maka dia menyintaiku. Barangsiapa menyintaiku maka berarti dia bersamaku di surga… Wahai anakku, jika kamu masuk kepada keluargamu maka ucapkanlah salam, karena ia merupakan keberkahan bagimu dan keluargamu.”
Anas bin Malik hidup setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat selama delapan puluh tahun lebih, selama itu Anas mengisi dada umat dengan ilmu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Yang agung dan menumbuhkan akal pikiran mereka dengan fikih kenabian.
Selama itu Anas menghidupkan hati umat dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Yang dia sebarkan di antara para shahabat dan tabiin, [2] dengan sabda-sabda Rasulullah yang berharga dan perbuatan-perbuatan beliau yang mulia Yang dia tebarkan di antara manusia.
Dengan umurnya yang panjang, Anas menjadi rujukan bagi kaum muslimin di masa hidupnya, mereka bertanya kepadanya setiap mereka dihadang oleh perkara penting dan setiap kali pemahaman mereka tidak menjangkau sebuah hukum.
Di antaranya, sebagian orang-orang yang gemar berdebat dalam agama berselisih tentang haudh (telaga) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari Kiamat, maka mereka bertanya kepada Anas tentang hal itu, Anas pun berkata, “Aku tidak pernah menyangka akan bisa hidup sehingga aku melihat orang-orang seperti kalian yang berdebat dalam perkara telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh aku telah meninggalkan wanita-wanita tua di belakangku, setiap dari mereka tidak melakukan shalat kecuali dia memohon kepada Allah agar memberinya minum dari telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Anas bin Malik terus hidup bersama kenangannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kehidupan berlangsung.
Dia sangat berbahagia pada hari pertemuannya dengan beliau, sangat bersedih di hari perpisahannya dengan beliau, sangat sering mengulang-ulang sabda beliau.
Dia sangat bersungguh-sungguh untuk mengikuti beliau dalam sabda-sabda dan perbuatan-perbuatan beliau, menyintai apa yang beliau cintai, membenci apa yang beliau benci. Dua hari yang paling diingat oleh Anas dalam hidupnya: Hari pertemuannya dengan Nabi pertama kali dan hari perpisahannya dengan beliau untuk terakhir kali.
Bila Anas teringat hari pertama maka dia berbahagia dan bersuka cita, namun jika hari kedua terlintas di benaknya maka dia menangis berduka, membuat orang-orang yang di sekelilingnya ikut menangis.
Anas sering berkata, “Sungguh aku telah melihat hari di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada kami dan aku juga melihat hari di mana Rasulullah meninggalkan kami. Aku tidak melihat dua hari yang menyerupai keduanya. Hari kedatangan beliau di Madinah, segala sesuatu di sana bercahaya. Tetapi hari di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hampir menghadap kepada Rabbnya, segala sesuatu terasa gelap gulita.
Pandangan terakhirku kepada beliau terjadi di hari Senin ketika kain penutup kamar beliau dibuka, aku melihat wajah beliau seperti kertas mushaf, pada saat itu orang banyak sedang berdiri di belakang Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu melihat kepada beliau, mereka hampir saja bubar, namun Abu Bakar memberi isyarat kepada mereka agar tetap berada di tempat.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat di pagi hari itu. Kami tidak pernah melihat suatu pemandangan yang paling kami kagumi daripada wajah beliau manakala kami memasukkan tanah ke kubur beliau.”
Rasulullah berdoa untuk Anas bin Malik lebih dari sekali.
Di antara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuknya:
“Ya Allah, limpahkanlah harta dan anak kepadanya, berkahilah dia padanya. “
Allah Ta’ala mengabulkan doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas radhiyallahu ‘anhu menjadi orang Anshar yang paling banyak hartanya, paling banyak keturunannya, sampai-sampai dia melihat anak-anak dan keturunannya melebihi angka seratus.
Allah Ta’ala memberkahi umurnya sehingga dia hidup selama 103 tahun.
Anas sangat berharap mendapatkan syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari Kiamat, Anas sering berkata, “Sesungguhnya aku berharap bisa bertemu Rasulullah di hari Kiamat, lalu aku berkata kepada beliau, Aku adalah pelayan kecilmu, Unais.”
Ketika Anas sakit yang dalam sakitnya ini dia meninggal, dia berkata kepada keluarganya, “Talqinlah aku dengan La Ilaha Illallah, Muhammadur Rasulullah.” Maka Anas senantiasa mengucapkannya sampai dia meninggal.
Anas radhiyallahu ‘anhu mewasiatkan agar mengubur tongkat kecil milik Rasulullah bersamanya, maka tongkat itu diletakkan di sampingnya.
Selamat untuk Anas bin Malik al-Anshari radhiyallahu ‘anhu yang telah mendapatkan limpahan kebaikan dari Allah Ta’ala. Dia hidup dalam bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung selama sepuluh tahun sempurna.
Dia adalah orang ketiga setelah Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhum dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga Allah membalasnya dan membalas ibunya atas apa yang dia berikan untuk islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan. [3]
Foot Note:
1. Ada yang berkata bahwa nama Ibu Anas adalah ar-Rumaisha’ atau al-Ghumaisha’, padahal yang rajih adalah bahwa keduanya merupakan julukan baginya. Lihat karya penulis.
2. Tabiin adalah generasi pertama setelah para shahabat, para ulama hadits membagi mereka menjadi thabaqat-thabaqat (tingkatan-tingkatan), yang pertama dari mereka adalah orang-orang yang bertemu dengan sepuluh shahabat yang dijamin masuksurga dan yang terakhir dari mereka adalah orang-orang yang bertemu dengan para shahabat muds atau yang dipanjangkan usianya. Lihat buku Shuwar min Hayat at-Tabiin karya penulis yang diterbitkan oleh Darul Adab al-Islami.
3. Untuk menambah wawasan tentang kehidupan Anas bin Malik al-Anshari, silahkan merujuk: al-Ishabah, (I/71) atau (at-Tarjamah) 277; al-Isti’ab (dicetak bersama al-Ishabah), (I/71); Tahdzib at-Tahdzib, (I/376); al-Jam’u baina ash-Shahihain, (I/35); Ushudul Ghabah, (I/258); Shifat ash-Shafwah, (I/298); al-Ma’arif, (133); al-Ibar, (I/107); Sirah Bathal, (107); Tarikh al-Islam, adz-Dzahabi (III/329); Ibnu Asyakir, (III/139); al-Jarh wat Ta’dil, (Q1,I/286).
Sumber: Buku ”Mereka Adalah Para Shahabat, Dr.Abdurrahman Ra’fat Basya, Penerbit at-Tibyan, Hal.13-18
Maka di benak Anas pun mulai tumbuh rasa cinta kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun dia belum pernah bersua dengan Nabi mulia tersebut dan hanya mendengar kisah beliau sebatas dari orang ke orang.
Tidak mengherankan, karena terkadang telinga lebih dulu merindukan sesuatu daripada mata.
Betapa seringnya Anas kecil berangan bisa berkelana menemui Nabinya di Makkah atau beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa datang kepada mereka di Yatsrib sehingga dia bisa berbahagia karena bisa melihatnya dan tenteram karena berjumpa dengannya.
Angan-angan itu dalam waktu dekat ternyata telah berubah menjadi kenyataan, Yatsrib yang membanggakan dan berbahagia mendengar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shahabatnya, ash-Shiddiq, sedang dalam perjalanan ke arahnya. Maka keceriaan menaungi semua rumah dan kebahagiaan menyelimuti semua hati.
Mata dan hati bergayut dengan jalan yang penuh berkah, jalan yang membawa langkah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shahabatnya ke Yatsrib.
Anak-anak muda bergumam setiap cahaya pagi bersinar, Muhammad telah datang. Maka Anas bersama anak-anak kecil lainnya berlari-lari hendak menyambutnya, namun dia tidak melihat siapa pun, dia pun pulang dengan sedih lagi kecewa.
Di suatu pagi yang indah yang penuh asa dan keceriaannya yang semerbak, orang-orang Yatsrib pun saling berbisik satu sama lain, “Muhammad dan shahabatnya telah berjalan mendekati Madinah.”
Mata orang banyak pun berhamburan ke jalan-jalan yang penuh berkah, jalan yang membawa Nabi petunjuk dan kebaikan kepada mereka.
Mereka berbondong-bondong menyambut kedatangan beliau secara bergelombang, kelompok demi kelompok, di sela-sela mereka ada sekumpulan anak-anak yang tak kalah bersemangat, wajah-wajah mereka dihiasi kebahagiaan dan menyatu dengan hati kecil mereka serta yang penuh sutra cita memenuhi jiwa mereka yang jernih.
Di barisan depan anak-anak tersebut adalah Anas bin Malik al-Anshari.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan shahabatnya ash-Shiddiq datang, keduanya berjalan di antara kumpulan orang-orang dewasa dan anak-anak dalam rombongan yang besar.
Adapun kaum wanita dan gadis-gadis remaja yang biasa tinggal di rumah maka mereka naik ke atap-atap rumah, mereka ingin melihat Rasulullah seraya berguman, “Yang mana dia? Yang mana dia?”
Hari itu adalah hari yang tidak terlupakan. Anas bin Malik senantiasa mengingatnya sampai dia berumur seratus tahun lebih.
Tidak lama setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Madinah, al-Ghumaisha’ binti Milhan, datang kepada beliau dengan disertai Anas anak laki-lakinya yang masih kanak-kanak, anak laki-laki itu berlarian di depan ibunya dengan ujung rambut yang jatuh di keningnya.
Al-Ghumaisha’ mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia berkata, “Ya Rasulullah, semua laki-laki dan wanita dari Anshar telah memberimu hadiah, tetapi aku tidak mempunyai apa pun yang bisa aku jadikan hadiah untukmu selain anak laki-lakiku ini. Terimalah dia, dan dia akan berkhidmat kepadamu sesuai dengan apa yang engkau inginkan.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbahagia, beliau memandang anak muda ini dengan wajah berseri-seri, beliau mengusap kepalanya dengan tangan beliau yang mulia, menyentuh ujung rambutnya dengan jari-jemari beliau yang lembut dan beliau menganggapnya sebagai keluarga.
Anas bin Malik atau Unais (Anas kecil), begitu terkadang mereka memanggilnya sebagai ungkapan sayang kepalanya, berumur sepuluh tahun manakala dia berbahagia bisa berkhidmat untuk Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
Anas hidup di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berada di bawah bimbingan beliau sampai Nabi berpulang ke ar-Rafiq al-A’la yaitu selama kurang lebih 10 tahun.
Selama itu Anas memperoleh bimbingan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yang dengannya dia menyucikan jiwanya. memahami hadits beliau yang memenuhi dadanya, mengenal akhlak beliau yang agung, rahasia-rahasia dan sifat-sifat terpuji beliau yang tidak dikenal oleh orang lain.
Anas bin Malik mendapatkan perlakuan yang mulia dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak pernah diperoleh oleh seorang anak dari bapaknya. Mengenyam keluhuran perangai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keagungan sifat-sifatnya yang membuat dunia patut untuk iri kepadanya.
Biarkanlah Anas sendiri yang menyampaikan sebagian lembaran cemerlang dari perlakuan mulia yang dia dapatkan di bawah naungan seorang nabi yang pemurah dan berhati mulia, karena Anas lebih tahu tentangnya dan lebih berhak untuk menceritakannya.
Anas bin Malik berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya, paling lapang dadanya dan paling besar kasih sayangnya. Suatu hari beliau mengutusku untuk suatu keperluan, aku berangkat, tetapi aku menuju anak-anak yang sedang bermain di pasar dan bukan melaksanakan tugas Rasul , aku ingin bermain bersama mereka, aku tidak pergi menunaikan perintah yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beberapa saat setelah berada di tengah-tengah anak-anak itu, aku merasa seseorang berdiri di belakangku dan memegang bajuku. Aku menoleh, ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tersenyum, beliau bersabda, “Wahai Unais, apakah kamu telah pergi seperti yang aku perintahkan?” Maka aku pun salah tingkah, aku menjawab, “Ya, sekarang aku berangkat Rasulullah.”
Demi Allah, aku. telah berkhidmat kepada beliau selama sepuluh tahun, beliau tidak pernah berkata untuk sesuatu yang aku lakukan, “Mengapa kamu melakukan ini?” Beliau tidak pernah berkata untuk sesuatu yang aku tinggalkan, “Mengapa kamu tinggalkan ini?”
Bila Rasulullah memanggil Anas, terkadang beliau memanggilnya dengan Unais sebagai ungkapan cinta dan kasing sayang, dan di lain waktu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya, “Wahai anakku.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat-nasihat dan petuah-petuah beliau yang memenuhi hati dan jiwanya.
Di antara nasihat-nasihat itu adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya:
“Wahai anakku, jika kamu mampu mendapatkan pagi dan petang sementara hatimu tidak membawa kebencian kepada seseorang maka lakukanlah. Wahai anakku, sesungguhnya hal itu termasuk sunnahku, barangsiapa menghidupkan sunnahku maka dia menyintaiku. Barangsiapa menyintaiku maka berarti dia bersamaku di surga… Wahai anakku, jika kamu masuk kepada keluargamu maka ucapkanlah salam, karena ia merupakan keberkahan bagimu dan keluargamu.”
Anas bin Malik hidup setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat selama delapan puluh tahun lebih, selama itu Anas mengisi dada umat dengan ilmu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Yang agung dan menumbuhkan akal pikiran mereka dengan fikih kenabian.
Selama itu Anas menghidupkan hati umat dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Yang dia sebarkan di antara para shahabat dan tabiin, [2] dengan sabda-sabda Rasulullah yang berharga dan perbuatan-perbuatan beliau yang mulia Yang dia tebarkan di antara manusia.
Dengan umurnya yang panjang, Anas menjadi rujukan bagi kaum muslimin di masa hidupnya, mereka bertanya kepadanya setiap mereka dihadang oleh perkara penting dan setiap kali pemahaman mereka tidak menjangkau sebuah hukum.
Di antaranya, sebagian orang-orang yang gemar berdebat dalam agama berselisih tentang haudh (telaga) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari Kiamat, maka mereka bertanya kepada Anas tentang hal itu, Anas pun berkata, “Aku tidak pernah menyangka akan bisa hidup sehingga aku melihat orang-orang seperti kalian yang berdebat dalam perkara telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh aku telah meninggalkan wanita-wanita tua di belakangku, setiap dari mereka tidak melakukan shalat kecuali dia memohon kepada Allah agar memberinya minum dari telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Anas bin Malik terus hidup bersama kenangannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kehidupan berlangsung.
Dia sangat berbahagia pada hari pertemuannya dengan beliau, sangat bersedih di hari perpisahannya dengan beliau, sangat sering mengulang-ulang sabda beliau.
Dia sangat bersungguh-sungguh untuk mengikuti beliau dalam sabda-sabda dan perbuatan-perbuatan beliau, menyintai apa yang beliau cintai, membenci apa yang beliau benci. Dua hari yang paling diingat oleh Anas dalam hidupnya: Hari pertemuannya dengan Nabi pertama kali dan hari perpisahannya dengan beliau untuk terakhir kali.
Bila Anas teringat hari pertama maka dia berbahagia dan bersuka cita, namun jika hari kedua terlintas di benaknya maka dia menangis berduka, membuat orang-orang yang di sekelilingnya ikut menangis.
Anas sering berkata, “Sungguh aku telah melihat hari di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada kami dan aku juga melihat hari di mana Rasulullah meninggalkan kami. Aku tidak melihat dua hari yang menyerupai keduanya. Hari kedatangan beliau di Madinah, segala sesuatu di sana bercahaya. Tetapi hari di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hampir menghadap kepada Rabbnya, segala sesuatu terasa gelap gulita.
Pandangan terakhirku kepada beliau terjadi di hari Senin ketika kain penutup kamar beliau dibuka, aku melihat wajah beliau seperti kertas mushaf, pada saat itu orang banyak sedang berdiri di belakang Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu melihat kepada beliau, mereka hampir saja bubar, namun Abu Bakar memberi isyarat kepada mereka agar tetap berada di tempat.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat di pagi hari itu. Kami tidak pernah melihat suatu pemandangan yang paling kami kagumi daripada wajah beliau manakala kami memasukkan tanah ke kubur beliau.”
Rasulullah berdoa untuk Anas bin Malik lebih dari sekali.
Di antara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuknya:
“Ya Allah, limpahkanlah harta dan anak kepadanya, berkahilah dia padanya. “
Allah Ta’ala mengabulkan doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas radhiyallahu ‘anhu menjadi orang Anshar yang paling banyak hartanya, paling banyak keturunannya, sampai-sampai dia melihat anak-anak dan keturunannya melebihi angka seratus.
Allah Ta’ala memberkahi umurnya sehingga dia hidup selama 103 tahun.
Anas sangat berharap mendapatkan syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari Kiamat, Anas sering berkata, “Sesungguhnya aku berharap bisa bertemu Rasulullah di hari Kiamat, lalu aku berkata kepada beliau, Aku adalah pelayan kecilmu, Unais.”
Ketika Anas sakit yang dalam sakitnya ini dia meninggal, dia berkata kepada keluarganya, “Talqinlah aku dengan La Ilaha Illallah, Muhammadur Rasulullah.” Maka Anas senantiasa mengucapkannya sampai dia meninggal.
Anas radhiyallahu ‘anhu mewasiatkan agar mengubur tongkat kecil milik Rasulullah bersamanya, maka tongkat itu diletakkan di sampingnya.
Selamat untuk Anas bin Malik al-Anshari radhiyallahu ‘anhu yang telah mendapatkan limpahan kebaikan dari Allah Ta’ala. Dia hidup dalam bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung selama sepuluh tahun sempurna.
Dia adalah orang ketiga setelah Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhum dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga Allah membalasnya dan membalas ibunya atas apa yang dia berikan untuk islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan. [3]
Foot Note:
1. Ada yang berkata bahwa nama Ibu Anas adalah ar-Rumaisha’ atau al-Ghumaisha’, padahal yang rajih adalah bahwa keduanya merupakan julukan baginya. Lihat karya penulis.
2. Tabiin adalah generasi pertama setelah para shahabat, para ulama hadits membagi mereka menjadi thabaqat-thabaqat (tingkatan-tingkatan), yang pertama dari mereka adalah orang-orang yang bertemu dengan sepuluh shahabat yang dijamin masuksurga dan yang terakhir dari mereka adalah orang-orang yang bertemu dengan para shahabat muds atau yang dipanjangkan usianya. Lihat buku Shuwar min Hayat at-Tabiin karya penulis yang diterbitkan oleh Darul Adab al-Islami.
3. Untuk menambah wawasan tentang kehidupan Anas bin Malik al-Anshari, silahkan merujuk: al-Ishabah, (I/71) atau (at-Tarjamah) 277; al-Isti’ab (dicetak bersama al-Ishabah), (I/71); Tahdzib at-Tahdzib, (I/376); al-Jam’u baina ash-Shahihain, (I/35); Ushudul Ghabah, (I/258); Shifat ash-Shafwah, (I/298); al-Ma’arif, (133); al-Ibar, (I/107); Sirah Bathal, (107); Tarikh al-Islam, adz-Dzahabi (III/329); Ibnu Asyakir, (III/139); al-Jarh wat Ta’dil, (Q1,I/286).
Sumber: Buku ”Mereka Adalah Para Shahabat, Dr.Abdurrahman Ra’fat Basya, Penerbit at-Tibyan, Hal.13-18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar