Minggu, 04 Januari 2015

Kisah Shahabat: Sa’d bin Muadz Radhiyallâhu’anhu

Namanya adalah Sa`d bin Muadz bin an-Nu`man bin Imri` al-Qais al-Asyhali al-Anshâri radhiyallâhu’anhu, seorang Sahabat memiliki kedudukan yang agung. Dia masuk Islam sebelum Hijrah melalui Ibnu Umair radhiyallâhu’anhu. Ia pernah berkata kepada kaumnya, “Ucapan laki-laki dan perempuan kalian haram bagiku hingga kalian masuk Islam. Masuk Islamlah kalian!” Sa`d bin Muadz radhiyallâhu’anhu adalah orang yang paling agung berkahnya bagi agama Islam.

Sa‘d bin Muadz radhiyallâhu’anhu ikut andil dalam perang Badar. Beliau terkena lemparan anak panah pada perang Khandaq dan ia hidup sebulan kemudian, setelah memberikan keputusan hukum bagi bani Quraidzah. Lukanya semakin membengkak dan wafat pada tahun kelima Hijrah. Keberadaannya di sisi Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam ikut memberikan kekuatan bagi Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Dalam sebuah syair disebutkan:

Jika dua Sa‘d masuk Islam, maka Muhammad di Mekah
tidak takut terhadap perbuatan orang yang menyelisihi.

(maksudnya adalah Sa‘d bin Ubâdah, pembesar suku Khazraj dan Sa‘d bin Muadz pembesar suku Aus).

PERAN SA‘D DALAM MEMBERIKAN KEPUTUSAN TERHADAP BANI QURAIDZAH

Dalam kitab Fathul Bâri, ‘Aisyah radhiyallâhu’anha menceritakan: “Sa`d bin Muâdz radhiyallâhu’anhu terkena lemparan anak panah pada urat nadi tangannya oleh seorang Quraisy yang bernama Hibbân bin al-Ariqah/Hibbân bin Qais dari bani Maîsh bin Amir bin Luay. Lalu Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun membangun tenda untuk Sa`d radhiyallâhu’anhu di masjid, agar beliau bisa menjenguknya dari dekat.”

Selanjutnya ‘Aisyah radhiyallâhu’anha mengatakan: “Tatkala Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam pulang dari Khandaq, Beliau meletakkan senjatanya lalu mandi. Kemudian datanglah seseorang (Jibril).”

Dalam riwayat lain: “Seseorang memberikan salam kepada kami. Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam terkejut lalu berdiri, aku juga berdiri. Ternyata dia adalah Dihyah al Kalbi radhiyallâhu’anhu. Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ini adalah Jibril.”” (Malaikat Jibril ‘alaihissalam kadang-kadang menemui Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk sahabat Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang bernama Dihyah al Kalbi, pada waktu itu ‘Aisyah radhiyallâhu’anha menyangka yang datang adalah Dihyah al Kalbi radhiyallâhu’anhu).

Dalam riwayat lain Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ia datang kepadaku untuk menyuruhku pergi kepada bani Quraidzah.”

Kemudian Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam membersihkan debu-debu yang ada di muka Jibril ‘alaihissalam. Jibril ‘alaihissalam berkata, “Engkau telah meletakkan senjatamu. Demi Allâh Ta’âla, aku belum meletakkan senjataku. Keluarlah kepada mereka!” Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Kemana?””

Kemudian Jibril mengisyaratkan kepada bani Quraizhah. Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun keluar dan mengepung mereka selama 15 atau 25 malam. (lihat al-Fath, 9/212 -216). Pengepungan tersebut membuat mereka (bani Quraizhah) merasa berat dan Allâh Ta’âla juga menanamkan rasa takut ke dalam hati mereka.

Dalam kondisi demikian, yaitu mereka merasa yakin bahwa Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya tidak akan pergi meninggalkan mereka; pemimpin mereka Ka‘b bin Asad berkata kepada mereka. “Wahai kaum Yahudi! Sesungguhnya keadaan kalian adalah seperti yang kalian lihat sekarang. Aku tawarkan kepada kalian tiga hal, pilihlah mana yang kalian suka!”

Mereka bertanya: “Apa saja itu”?

Ka‘b menjawab: “Pertama: kita mengikuti lelaki ini (Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam), dan beriman kepadanya. Demi Allah, kalian sudah tahu bahwa dia adalah seorang nabi yang diutus bagi kalian. Sungguh, dialah lelaki yang telah disebutkan dalam kitab kalian. Jika kalian bersedia, maka darah, harta benda, anak-anak dan istri-isri kalian akan aman.”

Mereka menjawab: “Kami tidak akan meninggalkan hukum Taurat selamanya dan kami tidak akan mengambil hukum selainnya.”

Lalu Ka‘b berkata: “Jika kalian tidak setuju dengan usulan ini, maka usulan kedua: mari kita bunuh anak-anak dan istri kita. Kemudian kita keluar mengangkat pedang melawan Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya. Kita tidak akan meninggalkan beban di belakang kita, hingga Allah memberi keputusan antara kita dan mereka. Jika kita binasa, maka selesailah urusannya ! Kita tidak meninggalkan keturunan yang kita khawatirkan. Dan jika kita menang, maka, maka demi Allah, kalian pasti akan mendapatkan wanita dan anak-anak lagi.”

Mereka bertanya: “Kita akan bunuh orang-orang lemah ini ?! Jika kita bunuh mereka, maka kesenangan hidup apalagi bagi kita setelah kehilangan mereka?”

Ka‘b menjawab: “Jika kalian enggan dengan ini, maka usulan ketiga: pada Sabtu malam, mungkin Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya akan memberi keamanan kepada kita. Maka, menyerahlah! Mudah-mudahan kita bisa mengintai Muhammad dan pasukannya.

Mereka mengatakan: “(jika demikian), berarti kita mengotori hari Sabtu kita dan melakukan suatu yang tidak pernah dilakukan oleh pendahulu kita kecuali orang yang telah engkau tahu, sehingga mereka tertimpa musibah yang sudah kita pahami kita bersama.”

Kemudian Ka‘b berkata dengan nada tinggi karena marah: “Sejak kalian dilahirkan, kalian tidak pernah memiliki pendirian yang teguh walau hanya semalam.”

Akhirnya, kemudian mereka mengirimkan utusan kepada Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan pesan: “Utuslah Abu Lubâbah bin Abdul Mundzir, saudara bani Auf agar menemui kami. Kami akan meminta pendapatnya.” Dulu mereka (bani Quraizhah) adalah sekutu suku Aus.

Kemudian Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengutusnya. Saat melihat kedatangan Abu Lubâbah, semua orang yahudi yang laki-laki bangkit dan mengerumuninya sedangkan para wanita dan anak-anak menangis dihadapannya. Abu lubâbah sangat iba melihat keadaan mereka. Mereka berkata: “Wahai Abu Lubâbah, apakah kami harus tunduk kepada keputusan Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam?”

Dia menjawab: “Begitulah” sambil memberi isyarat dengan tangannya yang diletakkan di leher yang maksudnya : jika kalian tunduk kepada hukum Rasulullah, kalian akan dihukum mati.

Setelah itu Abu Lubâbah sadar bahwa dia telah mengkhianati Allâh Ta’âla dan Rasul-Nya. Seketika itu dia berbalik dan tidak menemui Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam tapi langsung mengikat tubuhnya di salah satu tiang masjid. Ia berkata: “Aku tidak akan meninggalkan tempatku hingga Allâh Ta’âla memberi taubat kepadaku terhadap semua yang telah aku lakukan.” (lihat as-Siratun Nabawiyah, Ibnu Hisyam hal. 793- 794).

Ibnu Ishâk rahimahullâh menyebutkan: “Tatkala pengepungan sudah sangat ketat, mereka pun terpaksa tunduk kepada hukum Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam.” Melihat kondisi ini suku Aus berkata kepada Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasûlullâh engkau telah memperlakukan sekutu Khazraj dengan perlakuan yang telah engkau putuskan (engkau maafkan, kenapa engkau tidak memaafkan bani Quraizhah -Red).”

Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apakah kalian tidak rela salah seorang diantara kalian menetapkan hukuman buat bani Quraizhah?”

Mereka menjawab: “Ya”.

Maka beliau berkata : “Serahkanlah kepada Sa`d.”

Dalam banyak kitab sirah disebutkan bahwa mereka tunduk kepada hukum Sa‘d radhiyallâhu’anhu; dan telah disepakati bahwa mereka telah tunduk kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebelum tunduk kepada hukum Sa‘d radhiyallâhu’anhu.

Alqamah bin Waqash radhiyallâhu’anhu meriwayatkan bahwa tatkala kondisi dan situasi terasa berat bagi mereka, seseorang memerintahkan: “Tunduklah kalian kepada keputusan Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam!”

Tatkala mereka meminta petunjuk kepada Abu Lubâbah, ia menjawab: “Kita tunduk kepada hukum Sa‘d bin Muâdz radhiyallâhu’anhu.“ Setelah itu Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengembalikan hukum kepada Sa‘d bin Muâdz radhiyallâhu’anhu.

Kemudian Sa‘d radhiyallâhu’anhu berkata, “Dalam hal ini aku memutuskan agar para prajurit bani Quraizhah dibunuh; para wanita dan anak-anak ditawan dan harta bendanya dibagi-bagikan.”

Hisyam (seorang perawi) mengatakan: “Ayahku menceritakan kepadaku dari ‘Aisyah radhiyallâhu’anha bahwa Sa`d radhiyallâhu’anhu pernah berdoa kepada Allâh Ta’âla, “Ya Allâh Ta’âla, sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa tidak ada suatu kaum pun yang lebih suka aku perangi dari pada mereka yang telah mendustakan dan mengusir Rasul-Mu. Ya Allâh Ta’âla, aku mengira Engkau telah menghentikan peperangan antara kami dan mereka. Jika masih ada lagi peperangan dengan mereka, maka panjangkanlah usiaku hingga aku bisa berperang karena-Mu. Dan jika Engkau telah menghentikan peperangan, maka parahkanlah lukaku dan takdirkanlah kematianku saat itu.”

Kemudian lukanya pun bertambah parah. Tidak ada sesuatu yang mengejutkan penghuni kemah bani Ghifar (penghuni masjid) tatkala itu, melainkan darah yang terus mengalir menuju mereka. Mereka bertanya: “Wahai penghuni tenda, apa ini yang mengalir menuju kami dari arah kalian?” Tiba-tiba darah itu mengalir semakin cepat dan Sa`d radhiyallâhu’anhu pun meninggal dunia. (lihat al-Fath 9/213).

Dalam riwayat disebutkan bahwa ketika jenazahnya berada di hadapan manusia, orang-orang munafikin mengatakan: “Sungguh ringan sekali jenazahnya.” Kemudian Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Sesungguhnya para malaikat membawa jenazahnya, dan arsy Allâh Ta’âla bergoncang karenanya.”

Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

Singgasana Allâh Ta’âla bergoncang karena kematian Sa‘d bin Muâdz (HR al-Bukhâri)

Marâji‘:

1. Kitab Fadhâilul Sahâbah Lil Imâm Ahmad halaman 1029

2. Kitab Shahîhul Musnad min Fadhâilil Sahâbah halaman 267

3. Kitab Sirah Nabawiyah Libni Hisyam halaman 793-794

Sumber: (Syakhshiyah [Baituna] : Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar